Minggu, 08 Januari 2012

reformasi


Krisi Ekonomi 1997
Mei 1997, sebagian negara-negara di wilayah Asia mengalami krisi ekonomi besar-besaran. Negara-negara berkembang yang sedang menunjukkan geliat ekonominya mendapat goncanagn hebat akibta krisi ini. selang satu  bulan kemudian, negara-negara ASEAN terjebak dalam krisi yang lebih dasyat. Sebagian negara ASEAN mengalami krisi mata uang yang diawali oleh Thailand. Spekulasi Bath yang melanda Thailand ini memberikan efek domino bagi negara-negara tentangganya seperti Malaysia, Filipina, termasuk juga Indonesia. Pat-Pong effect ini membuat negara-negara ASEAN mengalami situasi ekonomi yang sulit yang mengahambat semangat mereka dalam membangun fundamental ekonomi negara. Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad, menuduhu George Shoros, pemilik Quantum Fund Management, sebagai otak dibalik terjadinya krisi ekonomi ini. Shoros dianggap telah melakukan spekulasi terhadap mata uang local sehingga menimbulkan inflasi besar-besaran dari negara-negara di ASEAN.[1]
Nilai tukar rpiah di Indonesia kala itu dengan cepat berubah. Awalnya US$1 dihargai dengan Rp 2.500,- namun setelah George Shoros melakukan perdagangan uang, maka nilai tukar dollar naik hingga tiga kali lipatnya, yatu mencapai angka Rp 12.500,- untuk US$1. Agar inflasi tidak semakin tinggi, maka aparat pemerintah dan konglomerat yang dipelopori oleh Siti Hardianti Rukmanan, Putri sulung Soeharto, menjual sebagian dollar yang mereka simpan ke Bi dengan harapan kepercayaan investor kepada rupiah cepat pulih sehingga perekonomian cepat kembali stabil.[2] Gerakan ini pada masa itu dukenal dengan gerakan ‘Cinta Rupiah’
Gerakan cinta rupiah ini tidak member sumbangan yang cukup berarti untuk kembali menstabilkan perekonomian bangsa. Akibatnya, banyak investor yang menarik modalnya keluar dari Indonesia karena takut Indonesia akan mengalami kebangkrutan. Semakin melonjaknya nilai tukar dollar menyebabkan banyak pengusaha yang kembang-kempis. Keadaan ekonomi yang semakin tidak stabil membuat mereka akhirnya harus rela untuk gulung tikar. Dampaknya sudah jelas, terjadi PHK besar-besarab yang tentunya menimbulkan persoalan baru bagi negara yaitu meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Bukan hanya perusahaan swasta yang mengalami masalah, BUMN juga turut kena imbas dari krisi perekonomian ini.
Kegelisahan mulai menyelimuti hati rakyat Indonesia. Selama tiga decade berada di bawah pimpinan Soeharto rakyat hidup makmur dan sejahtera, semua kebutuhan terjangkau, petani makmur, industry berkembang dan pembangunan berjalan dengan baik, bahkan Indonesia menjadi macan Asia dalam hal industry. Rakyat merasa sangat kaget karena tiba-tiba mereka dihadapkan pada kenyataan hidup yang begitu sulit. Banyak pengangguran akibat PHK, harga-harga sembako melonjak naik, TDL dan BBM lebih dulu naik sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri lagi saat itu Indonesia selain dilanda krisi ekonomi juga dilanda krisi social.
Kerusuhan Mei 1998
Pemilu tahun 1997 masih tetap memunculkan Golkar sebagai partai paling banyak masanya. Dalam pidato pertanggung jawaban di Sidang Umum MPR pada 1-11 Maret 1998, Presiden menegaskan bahwa untuk menanggulangi krisi ekonomi yang melanda bangsa dan menciptakan stanbilitas ekonomi maka negara akan menggunakan dana pinjaman dari IMF.[3] Saat itu pemerintah memiliki dana pinjaman dar IMF dan beberapa negara sahabat sebesar US $40 miliar. Kebijakan ini sebenarnya memunculkan kontroversi karena bsia membuat perekonomian Indonesia semakin merangkak. Saat keputusan penggunaan dana IMF diambil, maka Indonesia selain sibuk menstabilkan perekonomian negara juga harus memikirkan pencarian dana untuk membayar cicilan dan buga dari hutanng luar negeri tersebut. Pada akhirnya, pendapatan Indonesia yang terus menurun ditambah semakin tingginya nilai dollar terhadap rupiah menyebabkan hutang Indonesia kian menumpuk dan menjadi bean negara yang semakin besar.
Untuk mengontrol laju inflasi, maka pemerintah sepakat untuk mencabut subsidi untuk BBM dan TDL. Kebijakan ini diambil karena tanpa memberikan subisidi pada BBM dan TDL, pemerintah akan menghemat pengeluaran anggaran sebesar Rp 27,5 trilyun.[4] Kenaikan BBM dan TDL ini diikuti oleh kenaikan harga-harga lain sehingga menambah penderitaan rakyat. Rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Citra Orde Baru yang bagus dan telah dibangun selama 30 tahun akhirnya rusak juga.  Kondisi ekonomi dan social ang kian memburuk akhirnya memunculkan protes dimana-mana. Para mahasiswa berdemo menuntut pemerintah melakukan tindakan nyata untuk mengatasi masalah ini.
Semakin sulitnya hidup membuat rakyat menjadi cepat marah. Kerusushan-kerusuhan mulain muncul di berbagai daerah. Sasaran kemarahan rakyat adalah antor-kantor BUMN, pusat perekonomian dan kaum-kaum Thionghoa. Orang-orang Thionghoa dianggap sebagai penyebab krisi karena mereka telah menguasai sector ekonomi bangsa. Rakyat yang marah melakuakn pengursakan dan penjarahan took-toko menyebabkan keamanan tidak ada lagi. Penjarahan dan kerusuhan akibat kemarahan rakyat ini terjadi di Medan, Solo, Jakarta, bekasi, Surabaya dan berbagai wilayah lain.
Terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden untuk ketujuh kalinya memunculkan gelombang protes besar-besaran dari kalangan intelektual bangsa. Para mahasiswa mulai mencium gelagat tidak menyenangkan dalam tubuh birokrasi baru yang tegabung dalam cabinet pembangunan VII. Pejabat-pejabat yang duduk dikursi parlemen saat itu mulai dipertanyakan kredibilitasnya karena banyak melibatkan tokoh-tokoh yang diduga terlibat kasus-kasus korupsi dan monopoli perekonomian, selain itu sebagian besar yang ada di cabinet aalah antak-antek Soeharto yang tidak pernah jauh dari trah Cendana.[5] Tuntutan mahasiswa untuk membersihkan birokrasi dari pengaruh korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidak pernah didengarkan oleh pemerintah. Pemerintahan Soeharto pada dasarnya memang terkenal dengan pemerintah yang tidak mau mendengar suara rakyat.
Puncak amarah Rakyat terjadi pada bulan Mei 1998. Mahasiswa semakin lantang menuntut perubahan. Setiap hari mereka turun ke jalan berdemo, semakin hari masa yang turun ke jalan juga semakin banyak. Yogyakarta, Solo, Jakarta setiap hari selalu diwaranai dengan suara orasi dari demo-demo yang digelar mahasiswa. Keadaan mulai tidak bis dikendalikan, bentrokan natara mahasiswa dengan aparat kepolisian yang mengamankan aksi demontrasi tidak terelakana lagi. Mereka menuntut reformasi disegala bidang seperti apa yang tertera dalam konsep sepulture yang disampiakan oleh Amien Rais dalam aksi Unjuk Ras di Kampus UGM, 11 Maret 1998.[6]
Keadaan yang semakin genting dan tak terkontrol menuntut Soeharto untuk mengambil tindakan. Pada 1 Mei 1998, dia mengumpulkan tokoh-tokoh poitik, pejabat-pejabat kementeriannya, memimpin organisasi politik, pemimpin fraksi di DPR, dan para petinggi ABRI. Inti dari pertemuan itu adalah konsultasi penilaian keadaan bangsa pasca Sidang Umum MPR 1998.[7] Setelah pertemuan itu Soeharto menyampaikan jawabannya atas tuntutan mahasiswa untuk reformasi secara total, menurutnya reformasi itu bersifat desduktrif dan tidak mencerminkan kemauan mayoritas. Pernyataan ini mendapat tanggapan sinis dari kalangan yang menuntut reformasi sehingga mereka kembali melakukan aksi-aksi yang semain besar.[8]
12 mei 1998 terjadi penembakan terhadap 6 mahasiswa di kampus Trisakti yang sedang melakukan akti demo. Peristiwa ini memicu kerusuhan yang lebih besar di Jakarta dan beberapa kota lain. Aparat kemanan mulai melakukan kekerasan dalam mengamankan demonstrasi yang ada di daerah-daearh sehingga mulai jatuh banyak korban, khuasusnya dari kalangan mahasiswa. Puncaknya adalah pada tanggal 21 Mei saat mahasiswa berhasil menduduki gedung MPR. Sebelumnya, pada tanggal 18 Mei 1998, Pimpinan DPR beserta segenap fraksi yang ada sepakat untuk meminta Presiden mengundurkan diri secara konstitusi.[9] Pada tangaal 21 Mei 1998 sekitar pukul 9 pagi, Presiden Soeharto akhirnya melakukan pernyataan pengunduran dirinya di depan anggota DPR dan MPR. Adapun bunyi pidato pengunduran diri tersebut adalah:
“… dengan memperhatikan ketentuan pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pendangan pimpinan DPR dan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabtan saya sebagai Presiden Ri terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, Kamis 21 Mei 1998…”[10]
Penyataan pengunduran diri Soeharto itu disambut dengan riuh senang dan nyanyian lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pengibaran bendera merah putih oleh para pendemo di gedung DPR. Jabatan presiden Ri setelah itu berada di tangah B.J. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.


[1] M. Dawam Rahardjo, Orde Baru dan Orde Transisi: wacana kritis atas penyalahgunaan kekuasaan dan krisis ekonomi, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Hlm,37
[2] Radial, KOmuniksia politik, (Jakarta: Permata Putri Media, 2010), Hlm.247
[3] M. dawan Raharja, Op. Cit., Hlm.63
[4] Ibid., hlm.93
[5] Tim penyususn, 10 Tahun Kerusuhan Mei, Solo Bangkit, (Surakarta: Diya Solopos, 2008), Hlm.2
[6] Ibid., hlm.3
[7] Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999), Hlm.50
[8] Ibid., hlm.51
[9] T.A. Legowo, Runtuhnya Tembok Penghalang Reformasi: Perkembangan Politik Maret-Mei 1998, (Analisis CSIS, Thn. XXVII/1998, No.3), Hlm.300
[10] Time penyusun, Log.Cit., Hlm.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar