Senin, 02 Januari 2012

guru dimata masyarakat


A. Pengertian Guru
Guru adalah pendidik yang berada di lingkungan sekolah. Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyebut guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sebagai seorang pendidik tentunya harus memiliki beberapa kompetensi, sebagai persyaratan profesionalisme guru. Diantaranya terdapat kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional. Namun dalaam hal ini kita akan lebih menyoroti bagaimana peran atau pandangan guru dimata masyarakat. Pendidik merupakan sosok yang memiliki kedudukan yang sangat penting bagai pengembangan segenap potensi peserta didik, karena pendidik merupakan sosok yang amat menentukan dalam proses keberlangsungan dan keberhasilan pendidik dan pembelajaran.
Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, guru sebagai pendidik mempunyai kedudukan sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini. Kedudukan guru sebagai pendidik professional yang ditandai dengan kepemilikan sertifikat profesi tersebut maka ia memiliki fungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Dalam proses pendidikan, pada dasarnya guru memiliki tugas mendidik dan mengajar, namun guru tidak hanya cukup dengan m, tentunya seorang guru pun berkaitan dengan transformasi nilai-nilai dan pembentukkan pribadi peserta didik. Agar nantinya setelah melalui proses pendidikan peserta didik dapat menjadi manusia yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga bermoral dan berbudaya. Menjadi sorang guru adalah tugas yang mulia, dimana seorang guru pun memiliki tanggung jawab besar untuk senantiasa mngembang tanggung jawab moral dan tanggung jawab ilmiah agar kebudayaan nasional kita dapat bertahan identitasnya tidak tergeserkan olh kebudayaan asing.

B. Sikap dan Penghormatan Masyarakat Kepada Guru

a. Guru dalam Kebudayaan Indonesia
Secara formal status guru di dalam masyarakat dan budaya Indonesia masih menempati tempat yang terhormat. Masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa, mengenai tingginya status guru dapat digali dari warisan kebudayaan Hindu. Guru dalam bahasa sansekerta berart yang di hormati. Seorang guru pada hakikatnya adalah seorang pembimbing spritual kelompok, yang telah telah memiliki kecerdesan spiritual. Sejak masa Upanishad yaitu komentar-komentar mengenai tulisan suci dalam Weda, telah ditekankan mengenai pentingnya fungi tutor serta metode tutorial di dalam pengajaran agama. Pengajaran agama di dalam buku Weda isinya disampaikan secaran lisan kepada siswa oleh sang guru.
Sosok guru yang bermartabat dan terhormat pernah muncul ketika insitusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan dan padepokan yang begitu bersahaja. Konon, guru atau resi pada masa itu benar-benar menjadi digur anutan, berwibawa, dan disegani. Apa yang dikatakan sang resi merupakan “sabda” tak terbantahkan. Institusi pertapaan tak ubahnya “kawah candradimuka”, empat seorang resi menggembleng para siswa (cantrik) agar kelak menjadi sosok yang arif, tangguh, kaya ilmu, memiliki kepekaan moral dan sosial yang tinggi. Di mata masyarakat. Kehadiran sang resi pun begitu tinggi citranya, bermartabat, terhormat, dan memiliki legitimasi sosial yang mengagumkan. Masyarakat benar-benar respek terhadapnya. Apresiasi masyarakat nterhadap “profesi” resi atau guru sangat kental sehingga tidak jarang sang resi menjadi sumber “sugesti” atau sumber inspirasi masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul.
Guru dalam kepercayaan Hindu merupakan seseorang dari kaum Brahmin. Para Brahmin memiliki hak-hak khusus dalam masyarakat dan mereka di beri gelar kaum Mahardika atau Begawan. Para kaum Begawan tersebut mempunyai hak-hak istimewa, seperti bebas pajak. Dalam menyampaikan pengetahuan dari kitab Weda, para siswa tinggal di rumah Begawan serta mengabdi dengan penuh kesetiaan dan pengabdian.
Perkembangan selanjutnya dengan lahirnya bakti, status guru menjadi sangat penting karena mereka dianggap penjelmaan dewa sehingga perlu dipuja. Status demikian dibenarkan karena mereka tidak perlu menyembah pada raja. Guru dianggap sebagai penjelmaan hidup spiritual kebenaran. Karena, hal yang demikian maka guru begitu dihormati dan guru dianggap orang yang menjadi jalan seseorang untuk mencapai pencerahan jiwa dan menemukan serta mengembangkan potensi yang tersimpan dalam diri siswa.
Citra guru yang terjadi pada masa kebudayaan Hindu terus hidup dan berkembang juga pada masa pengembangan agama Islam. Budaya proses belajar-mengajar pada zaman Hindu diteruskan di dalam lembaga-lembaga pesantren pada masa kebudayaan Islam. Kedudukan Begawan di ganti oleh Kyai sebagai pemiliki pesantren. Metodologi lisan juga dilanjutkan di dalam menghafal buku kuning serta buku-buku agama lainnya. Kedudukan Kyai pemilik pesantren juga mengarah kepada hubungan Begawan dan muridnya. Kedudukan guru tetap mempunyai posisi yang tinggi.
Kedudukan sosial yang tinggi terus hidup sampai masa kini. Status sosial dengan citra yang demikian merupakan anomali di kehidupan modern. Kehidupan modern yang menuju arah keprofesionalisme menuntut keadaan guru sebagai pekerjaan profesional. Selain itu pekerjaan guru merupakan salah satu dari begitu banyak pekerjaan yang lahir dalam kehidupan modern. Seperti yang telah dijelaskan bahwa, profesi guru perlu bersaing dengan profesi-profesi lainnya yang lahir dalam masyarakat. Semua hal ini mempengaruhi penghargaan masyarakat terhadap profesi guru dan tuntutan masyarakat terhadap kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional. Hal tersebut merupakan tantangan, baik dari masyarakat maupun profesi itu sendiri.
Rangkaian gejolak politik yang terjadi sejak runtuhnya Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942 sampai ke gelombang Reformasi yang melanda Indonesia dari 1997-1999 membuat Indonesia tidak sempat dan tidak mampu mengkaji kembali rancangan (design) dari sistem pendidikan guru yang kita warisi dari masa lampau dan menyesuaikannya dengan perubahan-perubahan yang telah terjadi.
Kemerosotan dalam mutu kinerja guru-guru kita selama ini dikarenakan sistem pendidikan guru di Indonesia makin ketinggalan zaman. Faktor penyebab lain yang tak kalah penting adalah kemerosotan taraf kesejahteraan dalam kehidupan guru dan memudarnya status sosial guru dalam kehidupan maysarakat, perubahan dalam ketersinggungan (tangentiality) antara sekolah pdan poltik, perubahan dalam watak birokrasi pendidikan segenap perubahan ini turut menjadi penyebab dari kemerosotan mutu kinerja guru-guru di sekolah.
Ada terdapat kelemahan-kelemahan mendasar pada guru-guru yaitu kelemahan akademik yaitu karena kurang kuatnya penguasaan guru terhadap materi pendidikan yang harus mereka sampaikan kepada para siswa. Kelemahan pedagogik adalah kelemahan guru dalam membimbing siswa menjadi proses pendewasaan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diupayakan, kalau kelemahan akademik dapat melalui penyelenggaraan pendidikan guru pada jenjang perguruan tinggi, sedangkan kelemahan pedagogic dapat melalui memasukkan pembelajaran mengenai soal-soal keguruan dan kependidikan ke dalam setip program pendidikan guru.
Ada hal yang positif yang masih tertinggal dalam menghargai seorang guru hususnya pada masyarakat pedesaan yang masih menganggap bahwa pekerjaan guru merupakan pekerjaan yang terhormat, dimana sering kali guru dijadikan tokoh dalam kehidupan masyarakat. Penghargaan seperti itu tentunya perlu ditindaklanjuti dengan penghargaan yang seimbang dari segi material yang akan menunjang tugas profesional guru. Setiap penghargaan yang diterima guru baik dalam masyarakat harus diimbangi dengan usaha guru untuk memaksimalkan kemampuan dasar guru yakni pedagogik, kepribadian, keprofesionalan, dan sosial sehingga dapat membangun masyarakat mengembangkan kemampuanya putra-putrinya dalam memajukan masyarakat itu sendiri dengan pengetahuan. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab dalam proses ini, sebagai fasilitator serta membantu lahirnya saling menghargai antara masyarakat dan profesi guru yang tidak dapat diabaikan dalam membangun masyarakat Indonesia di masa yang akan datang.

b. Pandangan dan penghormatan negara maju terhadap profesi guru
Pandangan masyarakat modern terhadap guru belum merupakan profesi yang profesional jika hanya mampu membuat murid membaca, menulis dan berhitung, atau mendapat nilai tinggi, naik kelas dan lulus ujian. Masyarakat modern menganggap kompetensi guru belum lengkap jika hanya dilihat dari keahlian dan ketrampilan yang dimiliki melainkan juga dari orientasi guru terhadap perubahan dan inovasi. Bagi masyarakat modern, eksistensi guru yang mandiri, kreatif dan inovatif merupakan salah satu aspek penting untuk membangun kehidupan bangsa. Salah satu bangsa modern yang menghargai profesi guru adalah bangsa Jepang. Bangsa Jepang menyadari bahwa guru yang bermutu merupakan kunci keberhasilan pembangunan. She no on wa yama yori mo takai, umi yori mo fukai, yang artinya jasa guru lebih tinggi dari gunung yang lebih tinggi, lebih dalam dari laut yang dalam, merupakan ungkapan penghargaan bangsa Jepang terhadap profesi guru.
Guru pada sejumlah negara maju sangat dihargai karena guru secara spesifik 1) memiliki kecakapan dan kemampuan untuk memimpin dan mengelola pendidikan; 2) memiliki ketajaman pemahaman dan kecakapan intektual, cerdas emosional dan sosial untuk membangun pendidikan yang bermutu; dan 3) memiliki perencanaan yang matang, bijaksana, kontekstual dan efektif untuk membangun humanware (SDM) yang unggul, bermartabat dan memiliki daya saing. Keunggulan mereka adalah terus maju untuk mencapai yang terbaik dan memperbaiki yang terpuruk. Mereka secara berkelanjutan terus menigkatkan mutu diri dari guru biasa ke guru yang baik dan terus berupaya meningkat ke guru yang lebih baik dan akhirnya menjadi guru yang terbaik, yang mampu memberi inspirasi, ahli dalam materi, memiliki moral yang tinggi dan menjadi teladan yang baik bagi siswa.
Guru di negara maju pada umumnya memiliki paradigma jika mutu, komitmen dan tanggung jawab terhadap profesi sebagai guru tinggi, pasti penghargaan oleh masyarakat dan perhatian pemerintah terhadap profesi guru dari aspek kesejahteraan tinggi. Hal ini memang terbukti. Pemerintah pada sejumlah negara maju, misalnya Jepang dan Amerika Serikat memberi gaji yang tinggi terhadap profesi guru. Perubahan yang inovatif, baik dalam bentuk ide dan karya nyata berwujud benda sebagiannya merupakan hasil pemikiran cemerlang guru. Di negara maju cukup banyak ide guru diadopsi, diadaptasi menjadi inspirasi kemajuan perusahaan dan industri besar.
Namun, hal ini sangat bertolak belakang dengan keberadaan profesi guru di negara kita. Paradigma tentang guru yang berkembang di tengah masyarakat bahkan oleh sebagian guru itu sendiri bahwa yang lebih dahulu harus ditinggkatkan adalah gaji guru. Jika gaji guru tinggi dipahami bahwa secara otomatis mutu, komitmen dan tanggung jawab guru juga akan tinggi. Namun Tuntutan yang sudah lama menggaung ini sulit dipenuhi oleh pemerintah dengan alasan klasik bahwa keuangan negara sangat terbatas. Konsep berpikir seperti ini telah melemahkan posisi guru. Akibatnya, guru selalu setia menjadi pelaksana pembaruan yang datang dari pusat kekuasaan, dalam arti kata guru selalu menjadi korban dari politik pemerintah yang tidak berpihak pada nasib guru.
Guru merupakan profesi yang berdedikasi di hati dan pikiran murid. Guru yang benar-benar menghayati profesinya, ia bekerja bukan karena pemasukannya, tapi karena pengeluarannya, yaitu setiap hari ia berupaya mengenali, memahami dan mendidik anak dalam perbedaan dengan motivasi baru, ide baru dan cara pandang baru hingga anak bertumbuh kembang secara sehat, dewasa dalam berpikir dan sukses dalam perjalanan hidupnya. Dalam banyak hal guru adalah orang dewasa, kehadirannya entah berada di belakang, di tengah, atau di depan murid bukan untuk mendapatkan pengakuan dan atau penghargaan, tetapi memberi pencerahan, pengharapan dan kehidupan kepada murid agar berkualitas sebagai syarat untuk mencapai keunggulan dikemudian hari.
c. Pandangan masyarakat kota besar terhadap guru
Zaman memang sudah berubah. Modernisasi yang melanda berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dinilai memiliki imbas yang cukup kuat dalam memengaruhi sikap dan pola hidup masyarakat. Pergeseran nilai mentergap di segenap lapis dan sektor kehidupan. Nilai kesalehan, baik pribadi maupun sosial, mulai terbelakangkan. Nilai-nilai lama yang semula dipegang kukuh mulai memudar. Pergeseran nilai yang melanda masyarakat modern, agaknya juga membawa dampak terjadinya pergeseran penilaian masyarakat terhadap dunia pendidikan.
Urusan pendidikan anak-anak hanya dibebankan kepada lembaga pendidikan (sekolah), sehingga kalau ada pelajar yang terlibat dalam perilaku amoral, misalnya, masyarakat dengan enteng menuding guru sebagai biangnya, lantaran dianggap telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Seiring dengan itu, posisi sosial guru dalam strata masyarakat pun tampaknya juga mulai bergeser. Guru tidak lagi memiliki legitimasi sosial yang terhormat dan bermartabat. Guru tidak lagi dijadikan sebagai sumber informasi, bahkan dalam banyak hal guru tidak lagi dijadikan sebagai patron teladan.
Jika kita berbicara sepintas tentang sikap dan penghormatan masyarakat terhadap guru, banyak unsure dan aspek akan bermunculan dan bernuansa negatif, lebih-lebih di kota-kota besar seperti Jakarta dan lain sebaginya. Orang banyak membicarakan tetang profesi guru, media massa banyak menulis dan memuat berita tentang guru. Masyarakat dan orang tua siswa pun kadang-kadang mencemoohkan guru. Dunia bisnis juga mengalami bahwa para lulusan tidaak memiliki kemampuan memadai untuk bkerja bagi kepentingan perusahaannya.
Di sekolah, khususnya siswa-siswa, terlebih di kota besar, menganggap guru kurang kompeten, kurang memiliki kualitas sebagai guru, kurang professional. Pendapat tersebut jelas sangat bisa menurunkan wibawa guru dan martabatnya. Pembentukan Ditjen Tenaga Kependidikan pun diragukan membawa perbaaikan keadaan guru. Keraguan tersebut terutama keempat direktorat di bawahnya tidak mengacu pada aspirasi guru, yakni memperbaiki penghargaan, perlindungan, dan memberikan otonomi pada guru.
Terlebih-lebih di kota-kota besar posisi/status sosial siswa jauh lebih tinggi daripada gurunya. Masalah sikap dan penghormatan lingkungan masyarakat kepada guru-guru di kota-kota besar sungguh menyedihkan. Lebih-lebih bagi guru yang mengajar di SD. Aspek sosial ini perlu mendapat perhatian untuk difikirkan. Banyak guru di kota besar masih harus mengontrak atau menyewa rumah bagi tempat tinggalnya. Dan hal ini patut diusahakan agar mereka mendapat perumahan, biarpun kecil tapi layak dihuni, sehingga dengan cara mengangsur ataupun dengan cara lain mereka dapat memiliki suatu tempat tinggal bagi dirinya dan keluarganya.
d. Pandangan masyarakat desa terhadap guru.
Lain lagi dengan masyarakat desa, di pedesaan guru adalah sosok sentral bagi masyarakat. Jika ada orangtua bingung dengan anaknya, ia akan pergi ke rumah seorang guru. Kalau partisipasi warga perlu digerakkan untuk suatu proyek pembangunan di desa, gurulah yang pandai-pandai membantunya. Warga masyarakat banyak membutuhkan pertolongan guru untuk penyuluhan, pendampingan dan pengembangan lingkungannya. Tak heran bahwa di masa lalu guru masuk dalam kelas priayi. Guru dianggap seorang cendikiawan bagi lingkungan desanya. Bukan hanya di desa, kita sering mendengar orang-orang besar, orang pinter, pengusaha atau pejabat yang mengagungkan sosok guru. Banyak dari mereka mengakui menjadi “orang” karena guru. Dalam awal pembangunan negara kita pun, keberhasilan pada pengembangan kualitas sumber daya manusia, guru memainkan peran penting. Sering tidak terpikirkan bahwa untuk menghasilkan orang yang berkualitas, gurulah yang menjadi awal perjalanan sejarah orang tersebut
e. Beban Guru masa kini
Guru pada masa kini, tampaknya telah ditindih banyak beban. Pertama, tugas berat yang diembannya tidak diimbangi dengan tingkat kesejahteraan yang memadai. Gaji guru yang kecil pun masih diperas dengan potongan macam-macam dengan dalih untuk keperluan dana sosial, asuransi, urusan korps, atau pungutan lainnya. Anehnya, guru pun tak bisa berkutik. Sikap penuh nilai pengabdian, loyalitas, dan tanpa pamrih agaknya telah membuat guru tak mau bersinggungan dengan konflik. Mereka lebih suka memilih diam daripada menyuarakan kenyataan pahit yang dirasakannya. Kedua, guru sering dijadikan “kendaraan” untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Guru tidak punya banyak pilihan. Kebebasan dan kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat telah dibatasi oleh simbol-simbol tertentu. Guru harus menjadi sosok yang nrima, pasrah, dan tidak banyak menuntut.
Ketiga, harapan masyarat yang terlalu “perfeksionis” dan berlebihan. Dalam kondisin yang tidak menentu, masyarakat tetap menuntut agar guru tetap memiliki idealisme sebagai figur pengajar dan pendidik yang bersihh dari cacat hukum dan moral. Gerak-gerik guru selalu menjadi sorotan. Melakukan penyimpangan moral sedikit saja, masyarakat beramai-ramai menghujatnya. Ironisnya, harapan yang berlebihan itu tidak dibarengi dengan apresiasi masyarakat yang proporsional. Profesi guru di mata masyarakat masa kini telah kehilangan pamor, tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan yang luhur dan mulia. Dan keempat, para siswa atau pelajar masa kini semakin masa bodoh terhadap persoalan-persoalan moral, terjebak ke dalam sikap instan. Akibatnya, guru merasa kehilangan cara yang terbaik dan punya nilai edukatif dalam menangani perilaku pelajar. Dalam ulangan pun pelajar masa kini tak mau repot-repot mempersiapkan diri dengan baik. Cukup membuat contekan atau nebeng pada temannya yang berotak cemerlang. Dalam kodisi demikian, mana mungkin sekolah mampu menghasilkan lulusan yang bermutu dan handal?
Beratnya beban yang mesti dipikul guru masa kini jelas memerlukan perhatian serius dari berbagai kalangan untuk memosisikan guru pada arus yang lebih proporsional dan manusawi. Reaktualisasi peran dan gerakan penyadaran dari semua pihak sangat diharapkan untuk memulihkan citra guru. Guru harus lebih meningkatkan profesionalismenya sehingga tidak “gagap” ketika mengemban misinya sebagai penyemai intelektual, pemupuk nilai kemanusiaan, dan penyubur nilai moral kepada peserta didik. Tentu saja, misi luhur guru ini harus diimbangi dengan intensifnya pendidikan keluarga di rumah. Orang tua harus mampu mengembalikan fungsi keluarga sebagai basis penanaman dan pengakaran nilai moral, budaya, dan agama kepada anak, sehingga mereka mampu mengontrol perilakunya sesuai ajaran-ajaran luhur. Sedangkan, pemerintah perlu segera meralisasikan janjinya untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang sudah jelas landasan hukumnya, yaitu UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Harus ada upaya dan terobosan baru agar kesejahteraan guru benar-benar membaik. Dengan tingkat kesejahteraan yang layak, guru akan lebih terfokus pada tugasnya sehingga tidak berpikir lagi untuk mencari pekerjaan sambilan sebagai tukang ojek, penjual rokok ketengan, kernet, atau makelar yang bisa menurunkan wibawa dan citrra guru di mata masyarakat dan peserta didiknya.
Tidak kalah pentingnya ialah apresiasi masyarakat yang cukup manusiawi tentang profesi guru. Guru bukanlah “dewa” atau “nabi” yang luput dari cacat dan cela. Kalau ada guru yang terlibat dalam kasus amoral, misalnya, hal itu memang kurang bisa ditolerir. Namun, juga terlalu naif jika buru-buru menghujatnya tanpa menyikapinya secara arif. Sebagai serdadu pendidikan, kita semua jelas tidak menginginkan guru tampil loyo dan tidak berdaya memanggul beban di pundaknya. Memeikirkan dan memberikan apresiasi yang cukup proporsional tentangnya identik dnegan memikirkan nasib masa depan negeri ini. Sebab, generasi yang cerdas, terampil, dan bermoral tinggi yang kelak akan memimpin negeri ini, tidak luput dari sentuhan tangan sang guru.
f. Kenyataan dalam dunia guru
Profesi guru di masyarakat merupakan suatu profesi yang penuh ironi. Karena kebanyakan profesi guru kurang diminati oleh para generasi muda. Karena biasanya seorang anak jika ditanya akan cita-citanya, pasti kebanyakan bukan ingin menjadi guru, tetapi injgin menjadi profesi lain, seperti ingin menjadi dokter, polisi, dan lain-lain. Pada umumnya masyarakat megakui profesi lain seperti dokter, hakim, pengacara, wartawan, pilot atau pastor. Sebenarnya sebagai guru mereka bertanggung jawab tidak hanya pada pimpinan tapi pada diri sendiri yang telah menjawab panggilan menjadi guru dan pada tuhan.
Pernah kita mendengar guru adalah sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Sebenarnya darimana datangnya gelar itu?. Jika seorang guru secara tulus dan jujur mengabdi kepada panggilan hidupnya sebagai guru dengan segala kelemahan dan keterbatasnnya, patutlah ia menerima gelar itu. Tapi bisa saja kalau kita memikirkan secara kritis, jangan-jangan gelar ini diberikan agar guru seakan-akan dibuat “tidur”, agar tidak menuntut kesejahteraan yang sebenarnya menjadi hak mereka. agar ketidakadilan bisa dikemas begitu rupa hingga kebenaran dan keadilan tidak terungkap. Betapa guru selalu berada sekian tingkat di bawah profesi lainnya. profesi guru mudah tercemar di dalam masyarakat kita. Ada orang yang memaksakan diri menjadi guru walaupun sebenarnya ia tidak dipersiapkan untuk itu, apalagi terpanggil!di dalam masyarakat kita masih ada anggapan bahwa siapa saja yang berpengetahuan bisa menjadi guru.
Menggali ide kreatif dalam mengangkat sosok guru bisa dilihat melaui anak/siswa. Betapa berharganya seorang anak/anak-anak. Anak adalah masa depan. Anak adalah asset bagi orangtuanya, keluarga, masyarakat maupun bangsanya. Betapa penting dan berharganya anak. Mereka perlu dicintai, dirawat dan dididik. Maka dari itu pendidikan merupakan hal yang perlu dan penting. Pendidikan yang pertama dan utama adalah berada di dalam mkeluarga terutama orang tua. Namun tak semua orang tua dapat mengajarkan anaknya dengan baik, karena keterbatasan atau hal apapun. Karenanya anak dititipkan kepada orang lain yang dipercaya dan dianggap memiliki kepintaran dan pengetahuan lebih dari orangtua. Orang tersebut tentu saja adalah GURU. Tempat belajar anak, berguru kepada guru disebut sekolah. Disana anak bertemu dengan anak-anak lain yang juga dititipkan oleh orangtua mereka kepada guru tersebut. Terciptalah sistem pendidikan karena banyak anak belajar.
Jadi peran guru sangatlah penting. Bukan hanya sebagai pengganti orangtua di lingkungan sekolah selama anak dititipkan. Tetapi guru juga sekaligus juga menjadi contoh hidup bagi anak. Guru menjadi sumber pengetahuan tentang berbagai hal yang mungkin tidak bisa diberikan oleh oangtuanya sendiri kepada dia. Melalui guru anak dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan kepiawaian untuk bisa siap terjun ke masyarakat. Guru sebagai tokoh dominan akhirnya menjadi tokoh yang ditiru, baik dalam cara berbicara, bersikap, maupun dalam kata-katanya. Ketika anak-anak menyukai gurunya maka segala sesuatu yang dilakukan gurunya menjadi ukuran hidupnya dan ditiru. Terlebih guru adalah figure yang amat dekat dalam hidup anak setelah orang tuanya di rumah.
Pribadi guru bagi seorang anak silih berganti dalam berbagai nama dan profil yang amat akrab, hadir dalam ranah pembentukan pribadi. Tak dapat disangkal bahwa segala macam premis, bekal brlogika, bibit pemahaman hal-hal luar biasa, anak memperolehnya di bangku sekolah lewat guru. Dialog yang intensif antara guru dan keluarga, baik dalam bentuk pertemuan bersama maupun dialog pribadi, sangat dibutuhkan.
Tuhan menciptakan manusia berakal budi dan berbudi pekerti. Itulah yang akan menggenap martabatnya sebagai ciptaan yang mulia. Begitupun juga guru, guru ambil bagian dalam pencapaian ini. Banyak petuah diberikan di rumah. Khotbah didengar di tempat ibadat tak terhitung jumlahnya. Semuanya tak pernah bisa sekomperhensif yang diberikan guru. Pelimpahan tanggung jawab, baik secara informal maupun resmi, mebuat peran guru demikian besar ketimbang orangtua dan pemimpin agama. Menjadi guru adalah suatu panggilan. Keberanian menjawab panggilan untuk mengembangkan talenta mendidik, membimbing dan membentuk kepribadian. Pemberdayaan tenaga guru merupakan salah satu usaha untuk membangun kembali puing-puing kepercayaan masyarakat terhadap profesi guru.
Profesi guru bukan hanya sekedar pekerjaan tapi kehidupan. Sentuhan manusiawi guru telah membuat hidup begitu banyak anak menjadi hidup yang kemudian sukses dalam pekerjaan, karir, prestasi olah raga dan seni, bidang usaha, dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan tanpa guru tak ada profesi lain. Dokter, insinyur, negarawan, teknokrat, astronot bukan produk teknologi modern, tapi merupakan hasil sentuhan manusiawi seorang guru.
Kompetensi dan kompensasi (kesejahteraan) bagaikan dua sisi mata uang yang memiliki nilai sama pentingnya untuk mengangkat citra dan profesi guru. Namun, yang lebih penting di antara keduanya adalah profesi. Jika seseorang memilih profesi guru karena uang, maka ia berada di bidang yang salah. Mutu, komitmen dan tanggung jawab harus diutamakan untuk meng-hasilkan uang atau gaji yang tinggi. Pola pikir seperti ini di negara maju terbukti berhasil sehingga membuat mereka memiliki keunggulan komparatif. Sedangkan yang sebaliknya, yaitu uang atau gaji yang tinggi menjadi prioritas dengan harapan mutu, komitmen dan tanggung jawab akan meningkat sampai saat ini belum terbukti efektif.
Guru yang dianggap memilki kompetensi berharga di era yang sangat kompetitif ini bukan guru yang hanya menguasai satu spesialisasi disiplin ilmu, melainkan generalis yang mampu menangani masalah dengan bantuan beberapa disiplin ilmu yang harus dikuasainya. Dengan kata lain, di zaman yang mengutamakan kualitas ini, keunggulan hanya bisa diraih dan dinikmati oleh guru yang bertipe pemenang, bukan oleh guru pengeluh dan guru pemalas. Siapa lagi yang harus memperbaiki citra dan profesi yang terus terpuruk kalau bukan dari guru itu sendiri. Masyarakat memiliki harapan yang tinggi agar guru pengeluh dan guru pemalas kembali ke status yang benar sesuai tuntutan profesi walaupun hanya dengan rasa terima kasih yang sedikit atas dedikasi dan jasa yang besar bahwa tanpa guru tak ada profesi yang lain.
Untuk itu sudah saatnya masyarakat dan pemerintah menempatkan dan menghargai jabatan/pekerjaan guru sebagai profesi yang sama atau lebih baik daripada profesi lainnya. Sehubungan dengan hal itu diperlukan suatu kebijakan/langkah-langkah nyata yang secara komprehensif dan berkesinambungan mewujudkan guru sebagai profesi yang antara lain meliputi pengembangan sistem penjaminan mutu, pembenahan manajemen guru, pembenahan sistem penghargaan guru, pengembangan pola pendidikan profesi guru, pengembangan organisasi profesi guru, dan perumusan kode etik guru sebagai profesi. Perlu disadari bahwa pengembangan profesi guru tidak akan optimal tanpa peran serta masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu kepedulian masyarakat pada umumnya perlu ditingkatkan. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, evaluasi kebijakan pendidikan, pemutakhiran kompetensi guru, dan peningkatan kesejahteraan guru perlu terus digali dan dioptimalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar