Minggu, 08 Januari 2012

konflik papua


Bumi cenderawasih, Papua, kembali mewarnai berita-berita pada media masa nasional akhir-akhir ini. Hampir tiap tahun propinsi ini selalu bergolak, terutama sejak meletusnya reformasi di Indonesia yang diikuti dengan tanda-tanda disintegrasi bangsa yang semakin jelas. Setiap tanggal 19 Desember pasti dilakukan upacara memperingati kemerdekaan papua dengan pengibaran bendera bintang kejoranya. Peristiwa ini tidak jarang membuat oknum terkait bersitegang dengan aparat yang bertugas disana. Kerusuhan antar suku-suku tradisional yang ada di Papua juga menjadi salah satu akar persoalan yang paling sering muncul di bumi cenderawasih itu. Namun dari semua akar konflik yang paling sering muncul adalah konflik akibat keberadaan PT. Freeport di bumi Irian.
PT. Freeport adalah perusahaan tembang terbesar yang ada di Papua milik Amerika. Keberadaan perusahaan tambang tembaga ini dianggap oleh rakyat papua tidak beda dengan Belanda yang menjajah Indonesia. PT. Freeport adalah penjajah yang menjarah kekayaan alam papua dan menyebabkan alam papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat menjadi rusak dan tidak lagi bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Seperti dilangsir Okezon.com, warga papua menganggap PT. Freeport tidak memiliki orientasi untuk membangun dan memajukan papua. Meskipun dalam UU Otonomi khusus sudah jelas disebutkan bahwa 80% dari hasil tambang PT. Freeport diberikan kepada pemerintah daerah, namun rakyat sampai sekarang tidak pernah merasakan hasilnya.[1] Inilah yang menyebabkan rakyat papua berfikiran bahwa tanah mereka telah dijual oleh bangsa Indonesia sebagai imbalan atas kontrak politik Indonesia dengan Amerika.
Perasaan hanya dimanfaatkan oleh Indonesia ini memunculkan gerakan-gerakan separatis yang bercita-cita membentuk negara papua yang merdeka dan independen dengan harapan bisa membarikan kemakmuran yantg sebenarnya dengan sumber daya yang dimiliki oleh bumi tempat tinggalnya. Cikal bakal gerakan separatis ini sebenarnya sudah ada sejak Indonesia dan Belanda masih sibuk memperebutkan Papua, yang dulu dikenal dengan nama Irian Barat. Seperti titik api yang tidak pernah disadari oleh bangsa Indonesia, cikal bakal separatisme ini lambat laun semakin membesar dan berkobar menghanguskan rasa nasionalisme rakyat papua kepada bangsa Indonesia. Kelompok-kelompok separatis muncul seperti jamur dimusim hujan. Belum tuntas Indonesia memberantas gerakan ini, berbagai pihak dari kancah internasional mulai ikut campur dalam meramaikan pergolakan di bumi cenderawasih ini baik melalui kebijakan politik maupun lembaga-lembaga non formal yang masuk dengan kedok misi kemanusiaan. Bagaimana sebenarnya keadaan konflik di Papua sejak dulu hingga sekarang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama tentang tangan-tangan yang ikut meramaikan masalah ini.
Akar Konflik di Papua
Akar dari konflik yang ada di Papua saat ini sebenarnya tidak bisa lepas dari apa yang terjadi denga papua pada masa lalu. Papua yang pada masa kolonial dikenal dengan nama Irian Barat adalah tanah jajahan Belanda sehingga saat Indonesia merdeka maka wilayah ini berhak menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun penyerahan wilayah Irian Barat ke pangkuan Indonesia tidak mudah, Indonesia harus bersabar melakukan lobi-lobi diplomasi dengan Belanda bahkan saat dirasa jalan diplomasi tidak berhasil Indonesia akhirnya memutuskan melakukan operasi militer pembebasan Irian Barat. Belanda mempunyai strategi jitu untuk mempertahankan tanah mutiara hitam ini, yaitu dengan memberikan janji kemrdekaan kepada Irian Barat. Pada bulan April 1961, Belanda membentuk Dewan Nugini yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan Irian Barat yang dijanjikan akan diberikan pada tahun 1970. Pada 1 Desember 1961, Dewan Nugini mengibarkan bendera bintang kejora di Irian Barat.[2] Kejadian inilah yang menjadi salah satu alasan Soekarno akhirnya memutuskan untuk melakukan operasi militer untuk mengintegrasikan Irian Barat masuk ke wilayah Indonesia.
Perasaan menjadi kaum minoritas selalu dirasakan oleh papua sejak masuk ke wilayah Indonesia. Mereka merasa berbeda dengan orang Indonesia lainnya yang mayoritas merupakan ras melanosiod, sedangkan mereka adalah orang-orang melanesia. Keinginan mereka untuk membangun sebuah negara melanesia seperti negara-negara di kawasan pasifik sangatlah tinggi, walaupun kenyataannya hanya sebagian kecil masyarakat papua yang menginginkan ini. Faktor lain yang membuat mereka merasa jadi minoritas di Indonesia adalah masalah agama. Orang-orang papua mayoritas adalah pemeluk nasrani sedangkan mayoritas orang Indonesia adalah muslim. Diskriminasi agama sangat tampak pada masa Orde Baru. Dibawah pemerintahan Soeharto, anggaran pembangunan infrastruktur tempat ibadah yang menjadi program departemen agama 90% dialokasikan ke pembangunan masjid, sedangkan pembangunan gereja yang menjadi tempat ibadah mayoritas orang papua justru hanya mendapat 10% dari anggaran.[3] Namun berbeda dengan masalah di Poso atau Ambon yang berakar dari SARA, masalah diskriminasi agama dan Ras di papua bukanlah menjadi akar utama dari pergolakan yang terjadi disana.
Kesejangan ekonomi dan perasaan dijajahlah yang menjadi akar utama gerakan separatis yang mewarnai perjalanan panjang papua sejak menjadi bagian dari Indonesia. Slain itu kerahuan-raguan dan tidak konsistennya pemerintah pusat dalam menangani masalah Papua justru memperkeruh suasana di sana. Berbagai kebijakan telah dilakukan, mulai dari pemerkaran silayah hingga pemberian otonomi khusu, namun masih belum bisa memberikan kedamaian di papua. Justru konflik yang ada semakin hari semakin besar, bahkan mungkin akan menjadi bom waktu yanng siap-siap meledak.
Freeport, Indonesia dan Amerika
Pada tanggal 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda menandatangani perjanjian New York yang intinya Belanda akan menyerahkan Irian Barat ke Indonesia melalui UNTEA. Perjanjian ini ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PERPERA) pada tahun 1969. Amerika Serikat saat itu memberikan dukungan penuh dengan pelaksanaan PERPERA di Irian Barat untuk mengetahui keinginan rakyat papua. PERPERA dirasa penting dilakukan setelah sebelumnya terjadi penyerangan terhadap barak TNI batalyon 751 di Manokwari oleh penduduk asli papua pada 26 Juli 1965.[4] Amerika mewakili PBB menganggap PERPERA adalah salah satu jalan yang dirasa paling adil untuk menentukan nasip rakyat papua kedepannya.
Sikap Amerika yang dirasa sangat mendukunng Indonesia saat PERPERA, dewasa ini mulai menimbulkan wacan-wacan baru. Kenapa Amerika begitu baik ke Indonesia? Apalagi saat negara adikuasa ini berada di bawah J.F. Kennedy. Sikap Amerika ini dianggap sebagai strategi mereka untuk menguasai tanah papua yang kaya secara diam-diam, dukungan mereka pada Indonesia kala itu hanyalah bulu domba yang digunakan untuk munutupi niat mereka mengesploitasi kekayaan papua. Terbukti sejak tahun 1967, Amerika telah menandatangani Kontrak Karya I dengan Indonesia yang menyepakati pendirian perusahaan tambang Amerika, PT. Freeport, di Timika Papua. Perusahaan ini akhirnya berdiri dan resmi beroperasi pada tahun 1970. Keberadaan perusahaan ini sering diibaratkan sebagai balas budi Indonesia terhadap Amerika, sehingga Indonesia terkesan mengintegrasikan Papua ke wilayah NKRI hanya untuk digadaikan kepada Amerika. Kontrak PT. Freeport untuk mengekplorasi kekayaan bumi papua bahkan masih akan berlangsung sampai tahun 2021 setelha ditandatangani Kontrak Karya II pada tahun 1991.[5]
Keadaan ini ang akhirnya membawa sikap politik Amerika yang dengan jelas menolak gerakan pro-kemetrdekaan papua yang dilakukan oleh  Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Predium Dewan Papua (PDP). Tuduhan keberadaan PT. Freeport sebagai penyebab utama munculnya separatisme di Papua membuat Amerika menjadi pesakitan dalam masalh ini. Namun setelah bocornya wikileaks yang dimuat oleh surat kabar Australia, The Age, tuduhan itu perlahan-lahan berbalik menuju ke pemerintahan Indonesia. Dalam kawat diplomasi AS itu disebutkan secara gamblang bagaimana As menyelahkan pemerintahan Indonesia dalam masalah papua dan kebobrokan aparat penjaga keamanan disana. Disebutkan bahwa para petinggi militer yang ada di papua justru menjadi orang-orang yang melakukan pembalakan liar, penyelundupan ke Papua Nuginie dan memnyebabkan banyaknya penambangan liar yang menyebabkan kerusakan alam papua.[6] Kesenjangan yang terjadi juga bukan karena PT. Freeport tidak memperhatikan kemakmuran sekitar, tapi karena banyaknya oknum yang menggelapkan dana yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat papua.
Politik Muka Dua Australia
Australia sebagai negara yang paling dekat dengan wilayah Papua, selain Papua Nugini, tentunya mempunyai peranan yang cukup besar dalam masalah papua. Australia sebagai negara yang diibaratkan sebagai pemimpin negara-negara di kawasan pasifik bertugas mengkontrol negara-negara pasifik untuk tetap bersikap netral dalam masalah separatisme papua. Posisi Australia dalam menyikapi separatisme di Papua memang sangat fluktuatif, sama seperti yang terjadi dalam hubungan bilateral indonesia-australia secara keseluruhan. Pada mulanya Australia lebih cenderung mendukung Belanda untuk tetap menguasai Papua, namun karena mendapat desakan dari Ametika akhirnya Australia berbalik arah dan mendukung integrasi papua masuk ke wilayah Indonesia. Australia yang saat itu bergabung dengan Amerika dalam ANSUZ dan SEATO, akhirnya mengikuti keputusan Amerika dibawah pemerintahan Kennedy untuk mendukung integrasi Papua ke Indonesia sebagai salah atu upaya membendung masuknya komunis ke wilayah Asia Tenggara dan Pasifik.
Sikap Australia dalam separatisme di Papua sebenarnya cukup membingungkan. Satu sisi Australia mendukung kebijakan Indonesia yang menyelesaikan masalah Papua dengan pemberian politik khusu, namun disisi lain mereka sering menjadikan kasus papua sebagai perdebatan dalam parlemen.[7] Beberapa fakta yang ada di lapangan menuntut Indonesia harus pandai-pandai membaca sikap Autralia yang bisa saja sewaktu-waktu berubah menjadi musuh yang menusuk dari dalam, seperti yang mereka lakukan dalam masalah lepasnya timor-timur tahun 1999. Tindakan waspada Indonesia ini bukan tanpa alasan. Fakta menunjukan pahwa pada tahun 2000 warga negara Australia ditangkap saat membawa dokumen khusus mengenai Organisasi Papua Merdeka.[8] Selain itu LSM Australia yang masuk ke Papua dengan misi kemanusiaan terkadang berubah menjadi mata-mata sekaligus penghasut bagi rakyat papua untuk memisahkan diri dari Indonesia. seperti yang dilakukan oleh Caritas Autralia, sebuah LSM yang dikelola oleh gereja katholik. Lembaga ini terindikasi memberikan dukungan pada pemerintahan papua pro-kemerdekaan dengan pernyataanya mereka mengenai sejarah papua dan keabsahan indonesia di papua, khususnya terkait dengan pendatang yang dianggap sebagai penjajah.[9]
Indonesia seharusnya menyikapi kasus papua ini dengan seksama karena terkait dengan masalah keutuhan bangsa. Jangan sampai campur tangan asing justru memperkeruh suasana atau bahkan mengadu domba antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam setiap tindakan separatisme yang ada pasti menjadi lahan subur untuk pihak ketiga menanamkan kepentingan mereka.


[1] Adi Wicaksono, Mayoritas Warga Papua Tak Puas dengan Freeport, (diakses dari http://news.okezone.com/read/2011/10/27/340/521276/mayoritas-warga-papua-tak-puas-dengan-freeport )

[2] Cate Buchana, Mengelola Konflik di Indonesia: Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso, (Jakarta: LIPI, Curent Asia and The Centre for Humanitarian Dialogue, 2011), Hlm.32
[3] Syamsul Hadi, Andi Widjajanto,dkk, disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), Hlm.117
[4] Ibid., Hlm.99
[5] Adriana Elizabeth, Dimensi Internasional Kasus Papua, (dimuat dalam Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol.3, No.1 tahun 2006), Hlm.46
[6]  Hari Priyatna, Wikileaks: Situs Paling Berbahaya di Dunia, (bandung: Mizan, 2011), Hlm.119
[7] Adriana Elizabeth, Op.Cit., Hlm.47
[8] Syamsul Hadi, Op. Cit., Hlm.126
[9] Adriana Elizabeth, Op.Cit., Hlm.53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar