Minggu, 01 Januari 2012

Dinamika militer dalam tatanegara RI


Keterlibatan militer dalam kancah perpolitikan RI telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Tanggal 22 Agustus 1945, dalam sidang PPKI, pemerintah sepakat membentuk BKR yang pada tanggal 5 Oktober 1945 diubah namanya menjad TKR. Pada mulanya keterlibatan militer dalam politik bersifat convert political suport terhadap pemerintahan.
Masa Revolusi
pada awal berdirirnya bangsa ini, Tampak jelas bahwa sebenarnya tidak ada keserasian antara pemerintahan sipil dengan militer. Keduanya saling menaruh kecurigaan. Beberapa buktinya yaitu:
-       20 Mei 1946 Syahrir yang kala itu menabat perdana menteri membentuk divisi siliwangi, sejenis paspanpres, untuk mencegah kudeta dari Tan Malaka.
-       Dalam Agresi militer Belanda II, militer menginginkan, militer menginginkan pemerintah sipil ikut melakukan perang gerilya, namun hal tersebut tidak mendapat tanggapan dari pemerintah.
-       Pada masa pemerintahan kabinet Syahrir II, militer berada dibawah kekuasaan sipil yaitu dengan diangkatnya Amir Syarifudin sebagai menteri pertahanan. Hal ini menimbulkan kekecewaan dikalangan militer karena seharusnya militer mempunyai hak otonom di dalam pemerintahan dan dipimpin langsung oleh orang militer.
Masa Orde Lama (setelah tahun 1950)
Awal tahun 1950 keterlibatan militer dalam pemerintahan mengalami penurunan. Militer ditempatkan sebagai instrumen force. Tetapi situasi ini tidak berlangsung lama karena militer terlibat dalam krisis politik 1952. Militer menuntut dibubarkannya DPRS yang dianggap merugikan mereka.
Keterlibatan militer dalam pemerintahan baru diakui secara resmi dengan pembentukan Dewan Nasional pada 6 Mei 1957 yang bertujuan membantu kabinet dalam menjalankan program kerjanya.
10 februari 1958, Mayjend Nasutiion membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPB). FNPB mempunyai pengaruh yang kuat dalam bidang politik dan menyaingi keberadaan parpol, khususnya PKI. Mereka tidak jarang mengalami gesekan-gesekan sehingga menimbulkan ketegangan. Untuk mengontro situasi, Soekarno membentu Fron Nasional yang terdiri atas partai politik an golonngan fungsional. Militer dan PKI bersaing berebut pengaruh, sampai meletus pemberontahan 30 September 1965. Dari situ militer mulai berperan aktif dalam pemerintahan.
Masa Orde Baru
Pasce pemberontakan 30 September 1965, angkatan darat keluar sebagai kukuatan tunggal perpolitikan Indonesia. Ad dianggap sebagai penyelamat rakyat karena berhasil menumpas PKI. Anggapan ini menguatkan posisi militer dalam kancah politik. Pemerintahan Orde Baru pun berubah menjadi pemerintahan berbasis militer.
Pemerintahan berbasis militer orde baru mengambil kebijakan:
1. Pelembagaan Dwi Fungsi ABRI
2. Pengembangan sebuah kontro internal atas institusi negara
3. Mengembangkan sistem kontrol eksternal terhadap lembaga dan kekuatan politik lain.
Kebijakan tersebut menimbulkan penguasaan struktur pemerintahan dan birokrasi oleh militer, pelemahan terhadap parpol, parlemen dan lembaga politik lainnya. Dalam lembaga eksekutif ABRI mempunyai presentase tinggi dalam menduduki jabatan sipil. Sementara dalam lembaga legislatif, militer memliki 100 orang wakil yang duduk di DPR tanpa harus melalui pemilu. Pada masa ini militer digunakan sebagai penguat pengaruh dalam bidang politik. Akibatnya, peran sipil dalam politik menjadi termarjinalkan. Militer berkuasa penuh pada selutuh aspek kehidupan.
Era Reformasi
Pada akhir Orba ketidak puasan terhadap militer dan pemerintah muncul. Reformasi menuntut pembaharuan, termasuk posisi ABRI sebagai kekuatan hankam. Rakyat mengkritisi kekuatan ABRI yang dianggap sebagai alat negara untuk kepentingan penguasa saja.
Secara konkrit, perubahan dilakukan dengan mengurangi jumlah kursi ABRI di DPR dan Anggota ABRI yang diangkat sebagai pejabat publik. Pada 1 April 1999 dilakukan pemisahan antara Polisi dan ABRI sehingga upaya untuk mempertajam fungsi masing-masing dengan pemisahan tersebut diharapkan baik Polisi maupun ABRI dapat bekerja secara profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar