Berbagai isu nasional yang muncul dalam dunia pendidikan pada akhir-akhir ini adalah masalah peningkatan daya tampung (”Access”), peningkatan efektivitas dan efisiensi (”Efectivity & efficiency”) dan kegiatan peningkatan mutu pendidikan (”Quality of Education”). Dari ketiga permasalahan tersebut, masalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan dasar dan menengah menjadikan prioritas. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, peningkatan sarana dan prasarana dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, usaha tersebut belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sedikitnya, tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan ”Education Production Function” atau ”Input-output Analysis” yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua Input (Masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan Output (Luaran) yang dikehendaki Mengapa tidak terjadi peningkatan mutu pendidikan secara merata? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan ”Education Production Function” terlalu memusatkan pada ”Input” pendidikan, kurang memperhatikan pada proses ”Process” pendidikan. Padahal proses pendidikan sangat menentukan ”Output”pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara ”Birocratic-Centralistic”, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada putusan-putusan birokrasi yang sangat panjang. Padahal sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi di atasnya, sehingga guru kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan lembaga.[1]
Faktor ketiga, peran serta warga sekolah, khususnya guru dan masyarakat khususnya orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan ini sangat minim. Dan untuk pokok bahasan kali ini, kami akan membahas mengenai peranan birokrasi dan implementasinya terhadap kebijakan pendidikan.
Pentingnya sebuah implementasi dalam sebuah rangkaian kebijakan publik. Menurut Edwards, bagaimanapun bagusnya ide suatu kebijakan, tidak akan menutup kemungkinan gagalnya pencapain tujuan kebijakan tersebut akibat buruknya dalam implementasi.
A. PENTINGNYA IMPLEMENTASI DALAM BIROKRASI
Kebijakan tertentu sering melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi. Hal terpenting menurut Geogre Edwards III dalam birokrasi adalah prosedurprosedur yang diatur dalam Standard Operating Procedure (SOP) dan penyebaran/fragmentasi. Bagian yang pertama ini berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pelaksana serta keinginan yang seragam dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar. Sedangkan bagian yang kedua berasal dari, terutama, ekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti badan legislatif, kelompokkelompok kepentingan, pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi-organisasi birokrasi pemerintah.
Rentang struktur organisasi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan suatu kebijakan. Seberapa jauh rentang struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan agar pelaksanaan kebijakan dapat dimplementasikan secara efektif. Struktur organisasi yang terlalu panjang cenderung dapat melemahkan pengawasan dan menimbulkan prosedur birokrasi yang rumit dan bertele-tele, akibatnya kegiatan organisasi tidak fleksibel.
B. MODEL-MODEL IMPLEMENTASI
Model-model pendekatan tersebut tentu saja sangat mempengaruhi bagi efektivitas keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Wayne Parson (2008) membagi model implementasi kebijakan yaitu: Model Rasional (top down), model pendekatan bottom-up dan teori-teori hasil sintesis (hybrid theories).
1) Model Rasional (Top Down)
Model Rasional (top down) ini lebih menekankan pada usaha untuk mengidentifikasi fakto-faktor apa saja yang membuat suatu kebijakan bisa berjalan sukses di lapangan. Menurut Parsons (2008), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Van Meter dan van Horn menyatakan bahwa standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat terwujud. Apabila standar dan sasaran kebijakan tidak jelas, maka akan terjadi multi tafsir dan akan mudah menimbulkan konflik di antara para pelaksana sebagai implementor. Selain itu perlu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources). Dalam banyak kasus, selain sumber daya, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan lembaga lain. Dengan demikian diperlukan koordinasi dan kerjasama antar lembaga untuk keberhasilan suatu program. [1]
2) Model Pendekatan Bottom-Up
Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan konsensus. Model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith dalam Islamy (2004), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamandang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfektif perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.[2]
3) Teori-Teori Hasil Sintesis (Hybrid Theories)
Model rasional (top-down) memusatkan perhatian pada institusi dan kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi perilaku. Sintesis ini disempurnakan melalui pendekatan policy subsystem, yaitu semua aktor terlibat secara interaktif satu sama lain dalam proses politik dan kebijakan. Pada proses ini dibatasi oleh parameter yang relative stabil serta kejadian di luar subsistemDari ketiga model di atas, untuk melihat bagaimana implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) tampaknya tidak bisa semata-mata menggunakan model rasional (top down) atau model partisipasi (bottom up). Sebab, kebijakan MBS ini merupakan kebijakan yang memberikan kewenangan yang lebih luas pada masyarakat untuk mengembangkan pendidikan yang berada di lingkungannya. Meskipun masyarakat diberi kewenangan ini, tetapi dalam praktiknya pemerintah tidak lepas kontrol sama sekali terhadap proses pengembangan pendidikan yang dijalankan oleh masyarakat dan sekolah.
C. KEBIJAKAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Kebijakan pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup panjang. Sebelum berlakunya reformasi politik 1998, kondisi manajemen pendidikan di Indonesia mempunyai ciri yang masih sangat sentralistik dan birokratik, sebagaimana kecenderungan umum dalam sistem pembangunan sektor lainnya (H.A.R. Tilaar 2003, 5). Kebijakan yang sentralistik ini berubah secara perlahan melalui kebijakan desentralisasi politik (otonomi daerah) yang berlaku sejak ditetapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Sejalan dengan semangat era desentralisasi di Indonesia, pengelolaan pendidikan mulai diserahkan pada pemerintah daerah. Berbagai kebijakan pun dikeluarkan untuk mendukungnya. Baik yang bersifat admnistratif, seperti perubahan status institusi pengurus pendidikan, atau status pegawai pendidikan, hingga yang bersifat materi, misalnya kurikulum. Salah satu kebijakan pendidikan yang muncul mewarnai alam reformasi adalah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS merupakan hasil evaluasi pemerintah dari masa lalu yang serba sentralistis dan tidak memberdayakan masyarakat. Karena model seperti itu pada akhirnya membuat mutu pendidikan Indonesia rendah. Kebijakan MBS merupakan salah satu bentuk pembaharuan dalam pendidikan. Pembaharuan yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan karakter serta sifat masyarakat.
Tujuan utama yang diemban dalam program ini adalah peningkatan mutu pendidikan. MBS ditetapkan sebagai kebijakan nasional oleh Depdiknas sejak tahun 2000. Dengan keputusan ini, sekolah di semua level, SD hingga SMA mesti menjadikan konsep tersebut sebagai acuan. Akan tetapi, agar bisa dilaksanakan, langkah awalnya adalah memahami seluk beluk MBS. Menurut Nurkolis (2003), dari asal usul peristilahan, MBS adalah terjemahan langsung dari school based management (SBM). Istilah ini mulamula muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai alternatif untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah. Reformasi diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan tahun gagal menunjukan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah. Sama seperti Nurkolis, menurut Nanang Fatah (2003:8) manajemen berbasis sekolah sebagai terjemahan school based management adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholder). MBS dapat pula diartikan sebagai wujud dari reformasi pendidikan yang menginginkan adanya perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang baik. Diharapkan dengan adanya pengalihan wewenang dalam pengambilan keputusan dari birokrasi ke sekolah, sekolah bisa lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan Tuntutan lingkungan dan masyarakat.
D. KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT NASIONAL
Kurikulum KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan,dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Prisip-prinsip pengembangan KTSP adalah: (a) Berpusat pada potensi perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungan; (b) Beragam dan terpadu; (c) Tanggapterhadap perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi dan seni budaya; (d) Relevandengan kebutuhan kehidupan; (e) Menyeluruh dan berkesinambungan; (f) Belajar sepanjang hayat; (g) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Sejarah mencatat sejak tahun 1968 telah terjadi 6 kali perubahan kurikulum yakni kurikulum1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994,kurikulum 2004 dan kurikulum 2006 kurikulum KTSP. perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dilakukan oleh pemerintah, dikarenakan adanya perubahan teori pembelajaranyang baru, pendekatan pembelajaran yang baru dan adanya perubahan paradigm baru dalam manajemen pendidikan dari sistem sentralistik menuju desentralistik.
Dalam dimensi lembaga, kurikulum berfungsi sebagai rencana tertulis yang dipergunakan sebagai pedoman lembaga dalam penyelenggaraan pendidikan. Dimensi kelas, kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Dimensi masyarakat, kurikulum berfungsi untuk memberikan kritik yang konstruktif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 20 tahun (2003: 6), Bab II, Pasal 3 mengamanatkan bahwa : “ … Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yangdemokratis serta bertanggung jawab”.[3]
Pada tingkat nasional secara hukum, kenyataan,dan operasional kebijakan pengembangan kurikulum tingkat sekolah berada di bawah wewenang Balitbangdikbud, terutama pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana Akademik(Pusbangkurandik). Di lembaga ini, pemikiran dasar dan proses pengembangan kurikulum dirancang dan dilaksanakan sebagai upaya merealisasikan tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan dalam GBHN, UUSPN Tahun 1989,dan PP 28,29 tahun 1990. Proses pengembangan kurikulum sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab dan kendali pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana Akademik. Walau harus diakui bahwa tanggung jawab serta kendali itu tidak mudah karena kurikullum sebagai suatu kebijakan politik-edukatif tidak lepas dari berbagai pengaruh kekuatan politis yang ada.[4]
[1] Mundiri. Implementasi Management… (Online). www.implementasi,peran.birokrasi dalam.kebijakan.pendidikan.com , diakses tanggal 26 September 2011
[2] Ibid. hal:36
[3] Wachidi. Kedudukan dan peran guru Dalam mengembangkan kurikulum tingkat Satuan pendidikan (KTSP) untuk meningkatkan Mutu pendidikan (Online). www.kebijakan.pendidikan.com , diakses tanggal 26 September 2011. Hal :13
[4] Restu Gunawan. 1998. Simposium Pengajaran Sejarah :Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal: 65
[1] Wachidi. Kedudukan dan peran guru Dalam mengembangkan kurikulum tingkat Satuan pendidikan (KTSP) untuk meningkatkan Mutu pendidikan (Online). www.kebijakan.pendidikan.com , diakses tanggal 26 September 2011. Hal :5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar