Selasa, 10 Januari 2012

RADKALISME PENDIDIKAN


Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk dapat mandiri, bertahan hidup, dan bertanggung jawab atas kehodupannya. Pendidikan merupakan upaya membebaskan manusia dari belenggu kebodohan. Pendidikan idealnya merubah tingkah laku manusia dari hal-hal yang buruk menjadi baik, bukan sebaliknya. Tapi mungkin, dari dahulu sampai sekarang selalu ada saja hal-hal negative dalam dunia pendidikan kita. Salah satu hal yang akan menjadi focus kelompok kami terkait dengan masalah radikalisme dalam dunia pendidikan.
Tidak jarang masalah kekerasan, seperti tawuran antar sekolah mewarnai surat kabar nasional. Hal ini tentunya sangat disayangkan, mengapa harus terjadi. Masalah radikalisme dalam dunia pendidikan yang sempat dan sering mewarnai media masa adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada junior seperti di STPDN yang sampai memakan korban jiwa tewas. Kasus yang baru-baru ini terjadi terkait masalah radikalisme dalam pendidikan adalah kasus tawuran antar pelajar SMA 6 Jakarta dengan para wartawan. Kadang kali kasus penganiayaan oleh guru kepada siswa, praktek bullying sering terjadi. Padahal seharusnya dunia pendidikan, suci dari hal kekerasan. Memang seperti ini siapa yang pantasnya dipersalahkan? Guru? Siswa? Kurikulum? Atau materi pendidikan? Semuanya tentu harus kita pikirkan secara dingin tidak usah saling menyalahkan satu sama lain, karena semuanya mungkin salah. Latar belakang masalah inilah yang menjadi acuan pembahasan makalah kelompok kami.

A. Pengertian Radikalisme
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme/fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
B. Bentuk Radikalisme Dalam Pendidikan
Institusi pendidikan di Indonesia harus mampu menjadi motor penggerak perubahan karakter dan budaya peserta didiknya dari karakter kekerasan dan budaya menghukum menjadi karakter yang merangsang kemajuan dan budaya santun. Intitusi pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan pendidikan tinggi harus mampu menstransfer dan menstranformasikan nilai-nilai dan budaya yang luhur kepada peserta didiknya. Karena setiap peserta didik merupakan generasi penerus bangsa yang nantinya akan menduduki posisi-posisi penting baik di pemerintahan dan swasta. Banyak contoh kasus yang terjadi dimana kekerasan di Sekolah Tinggi Pelayaran (STP) di Jakarta, kasus kekerasan yang berujung kematian terjadi di institute {emerintahan Dalam Negeri (IPDN), kasus-kasus kekerasan yang diakibatkan oleh pelaksanaan Masa Orientasi Sekolah (MOS), Ospek, dan lainya. Dunia pendidikan Indonesia mungkin salah satu dunia yang penuh dengan kekerasan dan budaya menghukum, tidak jarang kita mendengar, membaca dimedia cetak dan bahkan menonton di media televisi dimana siswa sekolah ada yang dipukul, ditampar, dan bentuk kekerasan lainnya. Hal ini merupakan suatu citra buruk yang ditunjukan oleh para pendidik kepada peserta didiknya. Kepatuhan dan ketaan pada suatu aturan tidak semata-mata disandarkan pada perbuatan-perbuatan menghukum dan memberikan kejutan-kejutan kekerasan, tetapi juga dapat dilakukan dengan upaya-upaya yang santun dan berbudaya. Walaupun tidak semua pendidik melakukan tindakan kekerasan dan menerapkan budaya menghukum kepadab peserta didiknya tetapi apa yang muncul kepermukaan menjadi suatu preseden buruk bagi kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
Intitusi pendidikan pada dasarnya merupakan tempat untuk memanusiakan manusia. Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang dilakukan secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap seseorang yang sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan sangat baik. konsep dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman nyata bagi para pendidik dalam rangka memanusiakan manusia. Kekerasan demi kekerasan apabila terus berlanjut maka akan mematikan kreatifitas dan semangat belajar peserta didik. Intitusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya menghukum yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep dasar pendidikan.
C. Dampak dan Penanganan Masalah Radikalisme dalam Pendidikan
Sungguh suatu ironi bahwa radikalisme justru tumbuh dilembaga pendidikan negeri. Sebagai contohnya dampak dari adanya radikalisme pendidikan yaitu pendidikan agama disekolah ternyata mengandung unsur intoleransi. Misalnya terdapat sebanyak 13 % siswa yang mendukung terhadap gerakan radikalisme. Selain itu juga terdapat 14 % yang setuju dengan cara Imam Samodra didalam melakukan gerakan terorisme. Secara lebih lengkap, sebagaimana dilaporkan oleh Tempo, bahwa terdapat mayoritas siswa yang bersedia member dukungan dan kesediaan terlibat untuk merusak tempat hiburan, merusak anggota aliran yang menyimpangn merusak temapt ibadah agama lain, dan membantu umat Islam didaerah konflik.
Selain itu, dampak yang lain adalah adanya oknum-oknum guru tertentu yang menyemai bibit radikalisme dalam proses pembelajaran atau kegiatan ekstrakulikuler disekolah yang menyebabkan adanya orang-orang yang mau mengembangkan radikalisme menggunakan system sekolah. Bentuk-bentuk radikalisme juga berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme.
Guna mengantisipasi masuknya radikalisme dalam pendidikan, Kementrian Pendidikan Naional menekankan kurikulum yang berbentuk nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan pada siswa. Perubahan itu dilakukan tidak hanya dijenjang pendidikan tinggi, namun juga dijenjang sekolah mulai dari pendidikan dasar hingga menengah.gencarnya gerakan radikalisme yang menyusup di lembaga-lembaga pedidikan membuat dunia pendidikan nasional menjadi perhatian di masyarakat. Kritikan datang dari berbagai kalangan, tentang adalanya kelemahan pada system kurikulum pendidikan yang ada.
Menteri pendidikan nasional (Mendiknas, Mohammad Nuh mengatakan, guna meredam radikalisme yang terjadi dikalangan pelajar maka seluruh pihak yang terkait dihimbau untuk lebih gencar mengedepankan pendidikan karakter kepada para peserta didik. Menurut Nuh, untuk mencegah segala tindakan radikalisme adalah dengan menanamkan rasa cinta tanah air dan rasa empati terhadap sesame kepada para siswa sehingga tidak ada lagi pemikiran untuk melakukan tindakan radikal. Nuh menjelaskan, dalam pendidikan karakter ada tiga hal utama yang harus ditanamkan yaitu kesadaran sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa, keilmuan dan kecintaan, serta kebanggaan terhadap tanah air. Terkait dengan banyaknya gejala radikalisme yang lahir dan tumbuh dilingkungan sekolah. Nuh mengatakan, hal itu disebabkan oleh tingginya jumlah pelajar di Indonesia. Maka dari itu, dirinya mengakuk tidak heran jika gerakan radikalisme banyak beredar disekolah. Bukan hanya disekolah saja ditempat lain juga banyak. Namun, justru disini peran Kemendiknas dan Kementrian Agama untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini, “ujarnya. Ia menambahkan, selain bekerjasama dengan Kemenag, pihaknya juga melakukan koordinasi dengan kementrian politik, hukum dan keamanan yang mendukung deradikalisasi ditanamkan sejak bangku sekolah.
Kemendiknas sendiri telah menangani permasalahan ini secara khusus melaui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan ruang khusus tentang pendidikan karakter dalam setiap pelatihan yang melibatkan kepala sekolah diseluruh Indonesia. Yang paling efektif menekan pertumbuhan radikalisme disekolah adalah melalui kepala sekolah untuk kemudian mengawasi lingkungan sekolahnya secara langsung. Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Kesimpulan
Intitusi pendidikan pada dasarnya merupakan tempat untuk memanusiakan manusia. Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang dilakukan secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap seseorang yang sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan sangat baik. konsep dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman nyata bagi para pendidik dalam rangka memanusiakan manusia. Kekerasan demi kekerasan apabila terus berlanjut maka akan mematikan kreatifitas dan semangat belajar peserta didik. Intitusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya menghukum yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep dasar pendidikan.
Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

4 komentar: