Selasa, 10 Januari 2012

Pendidikan Multikultural di Indonesia


A. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Definisi multikulturalisme menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
• “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. (Azyumardi Azra, 2007).
• “A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; (Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
• Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
• Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut. (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
• Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity)). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Perkembangan paham multikulturalisme
Multikulturalisme merupakan suatu konsep yang relatif paling baru dalam khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam khazanah ilmu politik dikenal aliran pemikiran liberalism yang dicetuskan oleh pemikir-pemikir liberalism seperti John Locke dan Stuart Mill. Pemikiran-pemikiran liberalism klasik menekankan kepada pentingnya individualism, kemerdekaan, persamaan yang dimanifestasikan dalam hak-hak individual, sampai pada pemisahan antara negara dan agama yang dikenal dalam demokrasi barat.
Multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia, khususnya di dalam era dunia terbuka dan era demokratisasi kehidupan. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dengan sangat cepat di dunia dewasa ini baik di dalam pemikiran-pemikiran politik dan ekonomi menyebabkan orang berpikir lebih lanjut mengenai liberalisme. Untuk pertama kali disadarkan bahwa paham liberalisme perlu dikoreksi karena selama ini liberalisme meninggalkan unsure penting, yaitu kebudayaan. Maka lahirlah pemikiran multikulturalisme sebagai salah satu pemikiran yang bukan saja mempengaruhi perkembangan di dalam ilmu politik (political science), tetapi juga mempengaruhi ilmu-ilmu lain seperti di dalam falsafah, antropologi, sosiologi, pedagogik, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
Peran pendidikan di dalam multikulturalisme hanya dapat dimengerti di dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi disiplin-disiplin yang lain seperti ilmu politik, falsafah khususnya falsafah pos-modernisme, antropologi dan sosiologi. Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta pengembangan yang meminta partisipasi antar disiplin.
B. Pelaksanaan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Sudah selayaknya jika sistem pendidikan nasional mengadopsi pendekatan multikulturalisme sebagai spirit utama dalam membangun peserta didik. Keragaman budaya, agama, dan etnis serta berbagai variasinya dalam suatu masyarakat adalah kenyataan sejarah Indonesia. Sesungguhnya pendekatan multikulturalisme dalam dunia pendidikan bukanlah hal baru. UNESCO sudah cukup lama mengintrodusir pendidikan tersebut dan menganjurkannya kepada negara-negara yang warganya heterogen. Sistem Pendidikan Nasional mesti sensitive terhadap masalah keberagaman masalah tersebut, karena posisinya sangat strategis dalam membangun watak bangsa yang tidak sektarian, tetapi toleran, demokratis, dan humanistik.
Pendidikan yang disemangati oleh multikulturalisme sangat penting bagi bangsa Indonesia karena apresiasi dan saling hormat-menghormati terhadap perbedaan harus dibentuk dari tingkat yang paling dini dalam kehidupan anak. Konsep kurikulum muatan lokal (mulok) sebenarnya adalah penerapan pendidikan multikulturalisme. Dengan kurikulum seperti itu akan berkembang apresiasi kreativitas kultural masyarakat lokal oleh anak-anak sekolah di daerah masisng-masing. Tetapi program ini akan terancam gagal, jika di negeri ini membiarkan iklim politik dan aturan normatif dalam bentuk produk undang-undang mengkondisikan lahirnya kekuatan dominatif atas nama Negara. Sebab kemunculan kekuatan dominatif baru akan senantiasa berpotensi melakukan penyeragaman sehingga anti dialog dan negoisasi kultural.
Dasar kemampuan untuk bertahan dalam dunia yang multikultural ini adalah pertama mengerti nilai-nilai budayanya sendiri, dan selanjutnya adalah mengerti nilai-nilai budaya lain. Orang tua mempunyai pengaruh besar dalam menanamkan pengertian multikultural terhadap anak-anaknya. Nilai-nilai itu penting untuk ditanamkan selama 10 tahun pertama dalam kehidupan anak. Karena mereka mengadopsi dengan pengamatan, lalu meniru saat remaja, dan selanjutnya akan terdoktrin dari apa yang diamatinya. Cara hidup orang tua dalam budayanya ternyata mempersiapkan anaknya dengan identitas budayanya. Inilah pendidikan multikultural yang pertama.
Model pendidikan multikultural adalah penambahan informasi tentang keragaman budaya yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.
Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Contohnya adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar; dan (3) transformasi masyarakat.
Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Masyarakat juga mempunyai peranan dan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.
C. Program-program pendidikan Multikultural
ada beberapa program pendidikan multicultural yaitu:
1. Lembaga-lembaga Pendidikan sebagai pusat kebudayaan
Lembaga-lembaga pendidikan bukan hanya sebagai pusat belajar dan mengajar dalam pengertian intellectual develovement tetapi haruslah merupakan pusat penghayatan dan pengembangan budaya, baik budaya lokal maupun budaya internasional bahkan budaya global. Lembaga pendidikan sebagai pusat budaya berarti pula merupakan dialog dan komunikasi antar warga lokal sehingga dapat ditumbuhkan sikap toleransi dari warga-warga tersebut. Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan wadah bagi terwujudnya lembaga pendidikan sebagai pusat budaya.
2. Pendidikan Kewargaan
Di masa lampau kita mengenal bermacam versi pendidikan kewarganegaraan ialah hal-hal yang berkenaan dengan hak serta kewajiban sebagai warga Negara. Pendidikan kewarganegaraan ternyata hanyalah suatu aspek dari pendidikan kewargaan oleh karena seseorang adalah anggota atau warga dari bermacam-macam komunitas. Komunitas yang pertama dikenalnya adalah keluarga dan masyarakat sekitar dengan kebudayaannya sendiri. Pada masa lampau kita telah mngenal pendidikan budi pekerti tapi akhirnya dihapuskan dan diganti dengan pendidikan kewarga-negaraan serta ideologi Negara. Tidak ada salahnya memberikan pendidikan kewarganegaraan namun demikian pendidikan kewarganegaraan pertama-tama haruslah dimulai dengan pendidikan kewargaan dalam lingkungan sendiri.
3. Kurikulum Pendidikan Multikutural
Pendidikan multicultural berdasarkan kepada pedagogy equity maka dengan sendirinya pendidikan multicultural menggunakan pendekatan holistic artinya yang menjiwai seluruh proses belajar dan mengajar. penyebaran budaya global sangat cepat dan efektif mengenai generasi muda dan oleh sebab itu diperlukan suatu politik kebudayaan yang menyeluruh untuk menyelamatkan generasi muda dari pengaruh-pengaruh asing. Tugas pendidikan formal ialah memberikan landasan yang kuat bagi perkembangan pribadi-pribadi generasi muda agar mereka mempunyai modal dalam menyerap kebudayaan asing yang sangat cepat dan efektif memasuki dunianya.
4. Jebijakan Penyampaian Informasi
Pendidikan multicultural perlu di-support oleh kebijakan penyebaran informasi melalui media massa. Selain daripada itu penyebaran informasi dan pengetahuan melalui perpustakaan, baik perpustakaan sekolah, perpustakaan desa, wartel dan warnet perlu disinkronkan agar supaya merupakan pusat-pusat pengenalan budaya, pertama-tama budaya lokal serta semakin meluas pada tingkat nasional dan global.
5. Pendidikan Guru
Pendidikan multicultural tentunya meminta tenaga-tenaga pendidik yang lain dari apa yang kita kenal dewasa ini. Pada satu sisi kita mengenal guru-guru yang dididik secara nasional tanpa mengetahui budaya lokal. Di dalam era reformasi kita mudah jatuh kepada ekstrim yang lain yaitu kita mendidik tenaga-tenaga pendidik sesuai dengan otonomi daerah oleh daerah masing-masing. Tenaga pndidik yang kita perlukan adalah tenaga nasional yang bukan hanya mengetahui nilai-nilai budaya komunitas nasional tetapi juga bahkan terlebih penting pengenalan terhadap budaya lokal dimana ia berkarya. Jenis tenaga professional semacam inilah yang perlu dilahirkan di dalam membangun masyarakat Indonesia baru.
D. Prospek Pendidikan Multikultural di Indonesia
Masyarakat Indonesia selalu mengalami perubahan sosial secara luas dan beraneka karena pergaulannya dengan berbagai bangsa secara internasional dan global. Di dalam arus global ini hadirlah pula neoliberalisme sebagai ideology yang kini tengah menguasai panggung interaksi mondial melalui berbagai instrument. Pada titik inilah maka nasionalisme baru, yaitu kebangsaan berdasarkan “masyarakat Indonesia multikultural”, lantas diperlukan keberadaannyaoleh bangsa ini. Masyarakat multikultural inilah yang akan dihasilkan oleh pendidikan multikultural.
Pengetahuan (dan ilmu) menjadi instrument penting bagi masyarakat di dalam memetakan gejala dan persoalan, menganalisis, menentukan alternatif, dan mengambil keputusan sebagai respon terhadap perubahan cepat masyarakat yang terjadi. Jikalau salah satu yang mendasari karakter ilmu dan pengetahuan adalah relativitas didasarkan pada toleransi terhadap pihak lain karena segala sesuatunya tidak ada yang mutlak. Apabila hal yang sama berlaku pula pada pemahaman terhadap kultur lain maka perspektif multikultural menjadi penting keberadaannya. Untuk membentuk masyarakat seperti inilah maka pendidikan multikultural menempati posisi urgen dan signifikan.
Berdasarkan perspektif sistemik, pendidikan kiranya perlu dipahami dalam konteks tantangan global dan sekaligus pengaruh global tersebut pada tingkat nasional dan lokal. Dengan mencermati aneka fenomena pendidikan di berbagai Negara, pendidikan dapat difungsikan sebagi salah satu jawaban alternative jangka panjang bagi persoalan besar bangsa di masa depan. Jawaban ini tentu saja tidak hanya bersifat filosofis-konseptual melainkan juga bersifat operasional, yaitu ketika dirumuskan pada aras program-program prioritas pendidikan multikultural.
Untuk menghadapi masa depan yang penuh resiko itu (risk society) maka dibutuhkan adanya masyarakat yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge-based society). Yaitu masyarakat yang setiap anggota di dalamnya dapat mengenal dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam memperbaiki taraf hidupnya. Karena demokrasi dan HAM menjadi prinsip kehidupan masa datang yang diperlukan dan dihormati maka masyarakat berbasis ilmu pengetahuan ini sekaligus merupakan masyarakat civil society, yang di dalam pembentukannya harus menghadapi tantangan domestic dan global. Di dalam ranah keindonesiaan yang plural ini maka kedua konsep masyarakat itu seharusnya juga sekaligus merupakan masyarakat multikultural (multicultural society).
Di dalam konteks masyarakat dewasa ini, pandangan untuk membangun kehidupan bersama secara multikultural agaknya terdesak oleh agenda individual, kelompok, klik, komunal, dan organisasional yang lebih dekat dengan orientasi keberhasilan hidup mereka yang hendak diraih. Situasi seperti itu memaksa mereka untuk bersikap pragmatis di hadapan aneka kemendesakan hidup. Pada titik ini, pada tingkat makro, bangunan reflexive modern society yang mengintregasikan diri dan masyarakat yang kian mejemuk dengan aneka kulturnya lantas menjadi kian jauh dari perwujudannya. Namun bila hal ini lebih banyak diabdikan pada kepentingan sempit maka anyaman kehidupan sosial yang bersifat multikultur tidak akan terbangun berdasarkan penghayatan nilai-nilai multikulturalisme karena proses refleksi yang mempertautkan pengalaman dan pandangan tidak pernah mengkristal.
Adapun level kebijakan pendidikan nasional pemerintah (atau Negara), multikulturalisme pun tidak menjadi titik fokus utama. Persoalan teknis, manajerial, anggaran/ financial, standarisasi kualitas kualitas capaian pendidikan, guru, kelembagaan, regulasi pendidikan lebih menjadi titik perhatian daripada persemaian nilai-nilai multikulturalisme. Oleh sebab itu, implementasi multikulturalisme sangat tergantung pada insan-insan pendidikan yang telah memahaminya dan secara sadar ingin menyampaikannya di dalam proses pendidikan multikultural baik secara formal maupun informal. Maka keberhasilan relatif dan gradual lalu menjadi acuan kita supaya kita tidak merasa frustasi dalam menggulirkan pendidikan multikultural ini. Pendidikan multikultural tetap dapat dilaksanakan meskipun hal itu masih jauh dari perwujudan masyarakat multikultural secara menyeluruh.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Pendidikan yang disemangati oleh multikulturalisme sangat penting bagi bangsa Indonesia karena apresiasi dan saling hormat-menghormati terhadap perbedaan harus dibentuk dari tingkat yang paling dini dalam kehidupan anak. Konsep kurikulum muatan lokal (mulok) sebenarnya adalah penerapan pendidikan multikulturalisme. Dengan kurikulum seperti itu akan berkembang apresiasi kreativitas kultural masyarakat lokal oleh anak-anak sekolah di daerah masisng-masing.
Pengetahuan (dan ilmu) menjadi instrument penting bagi masyarakat di dalam memetakan gejala dan persoalan, menganalisis, menentukan alternatif, dan mengambil keputusan sebagai respon terhadap perubahan cepat masyarakat yang terjadi. Jikalau salah satu yang mendasari karakter ilmu dan pengetahuan adalah relativitas didasarkan pada toleransi terhadap pihak lain karena segala sesuatunya tidak ada yang mutlak. Apabila hal yang sama berlaku pula pada pemahaman terhadap kultur lain maka perspektif multikultural menjadi penting keberadaannya. Untuk membentuk masyarakat seperti inilah maka pendidikan multikultural menempati posisi urgen dan signifikan.

RADKALISME PENDIDIKAN


Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk dapat mandiri, bertahan hidup, dan bertanggung jawab atas kehodupannya. Pendidikan merupakan upaya membebaskan manusia dari belenggu kebodohan. Pendidikan idealnya merubah tingkah laku manusia dari hal-hal yang buruk menjadi baik, bukan sebaliknya. Tapi mungkin, dari dahulu sampai sekarang selalu ada saja hal-hal negative dalam dunia pendidikan kita. Salah satu hal yang akan menjadi focus kelompok kami terkait dengan masalah radikalisme dalam dunia pendidikan.
Tidak jarang masalah kekerasan, seperti tawuran antar sekolah mewarnai surat kabar nasional. Hal ini tentunya sangat disayangkan, mengapa harus terjadi. Masalah radikalisme dalam dunia pendidikan yang sempat dan sering mewarnai media masa adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada junior seperti di STPDN yang sampai memakan korban jiwa tewas. Kasus yang baru-baru ini terjadi terkait masalah radikalisme dalam pendidikan adalah kasus tawuran antar pelajar SMA 6 Jakarta dengan para wartawan. Kadang kali kasus penganiayaan oleh guru kepada siswa, praktek bullying sering terjadi. Padahal seharusnya dunia pendidikan, suci dari hal kekerasan. Memang seperti ini siapa yang pantasnya dipersalahkan? Guru? Siswa? Kurikulum? Atau materi pendidikan? Semuanya tentu harus kita pikirkan secara dingin tidak usah saling menyalahkan satu sama lain, karena semuanya mungkin salah. Latar belakang masalah inilah yang menjadi acuan pembahasan makalah kelompok kami.

A. Pengertian Radikalisme
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme/fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
B. Bentuk Radikalisme Dalam Pendidikan
Institusi pendidikan di Indonesia harus mampu menjadi motor penggerak perubahan karakter dan budaya peserta didiknya dari karakter kekerasan dan budaya menghukum menjadi karakter yang merangsang kemajuan dan budaya santun. Intitusi pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan pendidikan tinggi harus mampu menstransfer dan menstranformasikan nilai-nilai dan budaya yang luhur kepada peserta didiknya. Karena setiap peserta didik merupakan generasi penerus bangsa yang nantinya akan menduduki posisi-posisi penting baik di pemerintahan dan swasta. Banyak contoh kasus yang terjadi dimana kekerasan di Sekolah Tinggi Pelayaran (STP) di Jakarta, kasus kekerasan yang berujung kematian terjadi di institute {emerintahan Dalam Negeri (IPDN), kasus-kasus kekerasan yang diakibatkan oleh pelaksanaan Masa Orientasi Sekolah (MOS), Ospek, dan lainya. Dunia pendidikan Indonesia mungkin salah satu dunia yang penuh dengan kekerasan dan budaya menghukum, tidak jarang kita mendengar, membaca dimedia cetak dan bahkan menonton di media televisi dimana siswa sekolah ada yang dipukul, ditampar, dan bentuk kekerasan lainnya. Hal ini merupakan suatu citra buruk yang ditunjukan oleh para pendidik kepada peserta didiknya. Kepatuhan dan ketaan pada suatu aturan tidak semata-mata disandarkan pada perbuatan-perbuatan menghukum dan memberikan kejutan-kejutan kekerasan, tetapi juga dapat dilakukan dengan upaya-upaya yang santun dan berbudaya. Walaupun tidak semua pendidik melakukan tindakan kekerasan dan menerapkan budaya menghukum kepadab peserta didiknya tetapi apa yang muncul kepermukaan menjadi suatu preseden buruk bagi kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
Intitusi pendidikan pada dasarnya merupakan tempat untuk memanusiakan manusia. Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang dilakukan secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap seseorang yang sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan sangat baik. konsep dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman nyata bagi para pendidik dalam rangka memanusiakan manusia. Kekerasan demi kekerasan apabila terus berlanjut maka akan mematikan kreatifitas dan semangat belajar peserta didik. Intitusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya menghukum yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep dasar pendidikan.
C. Dampak dan Penanganan Masalah Radikalisme dalam Pendidikan
Sungguh suatu ironi bahwa radikalisme justru tumbuh dilembaga pendidikan negeri. Sebagai contohnya dampak dari adanya radikalisme pendidikan yaitu pendidikan agama disekolah ternyata mengandung unsur intoleransi. Misalnya terdapat sebanyak 13 % siswa yang mendukung terhadap gerakan radikalisme. Selain itu juga terdapat 14 % yang setuju dengan cara Imam Samodra didalam melakukan gerakan terorisme. Secara lebih lengkap, sebagaimana dilaporkan oleh Tempo, bahwa terdapat mayoritas siswa yang bersedia member dukungan dan kesediaan terlibat untuk merusak tempat hiburan, merusak anggota aliran yang menyimpangn merusak temapt ibadah agama lain, dan membantu umat Islam didaerah konflik.
Selain itu, dampak yang lain adalah adanya oknum-oknum guru tertentu yang menyemai bibit radikalisme dalam proses pembelajaran atau kegiatan ekstrakulikuler disekolah yang menyebabkan adanya orang-orang yang mau mengembangkan radikalisme menggunakan system sekolah. Bentuk-bentuk radikalisme juga berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme.
Guna mengantisipasi masuknya radikalisme dalam pendidikan, Kementrian Pendidikan Naional menekankan kurikulum yang berbentuk nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan pada siswa. Perubahan itu dilakukan tidak hanya dijenjang pendidikan tinggi, namun juga dijenjang sekolah mulai dari pendidikan dasar hingga menengah.gencarnya gerakan radikalisme yang menyusup di lembaga-lembaga pedidikan membuat dunia pendidikan nasional menjadi perhatian di masyarakat. Kritikan datang dari berbagai kalangan, tentang adalanya kelemahan pada system kurikulum pendidikan yang ada.
Menteri pendidikan nasional (Mendiknas, Mohammad Nuh mengatakan, guna meredam radikalisme yang terjadi dikalangan pelajar maka seluruh pihak yang terkait dihimbau untuk lebih gencar mengedepankan pendidikan karakter kepada para peserta didik. Menurut Nuh, untuk mencegah segala tindakan radikalisme adalah dengan menanamkan rasa cinta tanah air dan rasa empati terhadap sesame kepada para siswa sehingga tidak ada lagi pemikiran untuk melakukan tindakan radikal. Nuh menjelaskan, dalam pendidikan karakter ada tiga hal utama yang harus ditanamkan yaitu kesadaran sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa, keilmuan dan kecintaan, serta kebanggaan terhadap tanah air. Terkait dengan banyaknya gejala radikalisme yang lahir dan tumbuh dilingkungan sekolah. Nuh mengatakan, hal itu disebabkan oleh tingginya jumlah pelajar di Indonesia. Maka dari itu, dirinya mengakuk tidak heran jika gerakan radikalisme banyak beredar disekolah. Bukan hanya disekolah saja ditempat lain juga banyak. Namun, justru disini peran Kemendiknas dan Kementrian Agama untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini, “ujarnya. Ia menambahkan, selain bekerjasama dengan Kemenag, pihaknya juga melakukan koordinasi dengan kementrian politik, hukum dan keamanan yang mendukung deradikalisasi ditanamkan sejak bangku sekolah.
Kemendiknas sendiri telah menangani permasalahan ini secara khusus melaui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan ruang khusus tentang pendidikan karakter dalam setiap pelatihan yang melibatkan kepala sekolah diseluruh Indonesia. Yang paling efektif menekan pertumbuhan radikalisme disekolah adalah melalui kepala sekolah untuk kemudian mengawasi lingkungan sekolahnya secara langsung. Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Kesimpulan
Intitusi pendidikan pada dasarnya merupakan tempat untuk memanusiakan manusia. Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang dilakukan secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap seseorang yang sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan sangat baik. konsep dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman nyata bagi para pendidik dalam rangka memanusiakan manusia. Kekerasan demi kekerasan apabila terus berlanjut maka akan mematikan kreatifitas dan semangat belajar peserta didik. Intitusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya menghukum yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep dasar pendidikan.
Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

MBS (Managemen Berbasis Sekolah)


Berbagai isu nasional yang muncul dalam dunia pendidikan pada akhir-akhir ini adalah masalah peningkatan daya tampung (”Access”), peningkatan efektivitas dan efisiensi (”Efectivity & efficiency”) dan kegiatan peningkatan mutu pendidikan (”Quality of Education”). Dari ketiga permasalahan tersebut, masalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan dasar dan menengah menjadikan prioritas. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, peningkatan sarana dan prasarana dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, usaha tersebut belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sedikitnya, tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan ”Education Production Function” atau ”Input-output Analysis” yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua Input (Masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan Output (Luaran) yang dikehendaki Mengapa tidak terjadi peningkatan mutu pendidikan secara merata? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan ”Education Production Function” terlalu memusatkan pada ”Input” pendidikan, kurang memperhatikan pada proses ”Process” pendidikan. Padahal proses pendidikan sangat menentukan ”Output”pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara ”Birocratic-Centralistic”, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada putusan-putusan birokrasi yang sangat panjang. Padahal sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi di atasnya, sehingga guru kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan lembaga.[1]
Faktor ketiga, peran serta warga sekolah, khususnya guru dan masyarakat khususnya orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan ini sangat minim. Dan untuk pokok bahasan kali ini, kami akan membahas mengenai peranan birokrasi dan implementasinya terhadap kebijakan pendidikan.
Pentingnya sebuah implementasi dalam sebuah rangkaian kebijakan publik. Menurut Edwards, bagaimanapun bagusnya ide suatu kebijakan, tidak akan menutup kemungkinan gagalnya pencapain tujuan kebijakan tersebut akibat buruknya dalam implementasi. 
A.    PENTINGNYA IMPLEMENTASI DALAM BIROKRASI
Kebijakan tertentu sering melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi. Hal terpenting menurut Geogre Edwards III dalam birokrasi adalah prosedurprosedur yang diatur dalam Standard Operating Procedure (SOP) dan penyebaran/fragmentasi. Bagian yang pertama ini berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pelaksana serta keinginan yang seragam dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar. Sedangkan bagian yang kedua berasal dari, terutama, ekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti badan legislatif, kelompokkelompok kepentingan, pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi-organisasi birokrasi pemerintah.
Rentang struktur organisasi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan suatu kebijakan. Seberapa jauh rentang struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan agar pelaksanaan kebijakan dapat dimplementasikan secara efektif. Struktur organisasi yang terlalu panjang cenderung dapat melemahkan pengawasan dan menimbulkan prosedur birokrasi yang rumit dan bertele-tele, akibatnya kegiatan organisasi tidak fleksibel.

B.     MODEL-MODEL IMPLEMENTASI
Model-model pendekatan tersebut tentu saja sangat mempengaruhi bagi efektivitas keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Wayne Parson (2008) membagi model implementasi kebijakan yaitu: Model Rasional (top down), model pendekatan bottom-up dan teori-teori hasil sintesis (hybrid theories).
1)      Model Rasional (Top Down)
Model Rasional (top down) ini lebih menekankan pada usaha untuk mengidentifikasi fakto-faktor apa saja yang membuat suatu kebijakan bisa berjalan sukses di lapangan. Menurut Parsons (2008), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Van Meter dan van Horn menyatakan bahwa standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat terwujud. Apabila standar dan sasaran kebijakan tidak jelas, maka akan terjadi multi tafsir dan akan mudah menimbulkan konflik di antara para pelaksana sebagai implementor. Selain itu perlu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources). Dalam banyak kasus, selain sumber daya, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan lembaga lain. Dengan demikian diperlukan koordinasi dan kerjasama antar lembaga untuk keberhasilan suatu program. [1]
2)      Model Pendekatan Bottom-Up
Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan konsensus. Model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith dalam Islamy (2004), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamandang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfektif perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.[2]
3)      Teori-Teori Hasil Sintesis (Hybrid Theories)
Model rasional (top-down) memusatkan perhatian pada institusi dan kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi perilaku. Sintesis ini disempurnakan melalui pendekatan policy subsystem, yaitu semua aktor terlibat secara interaktif satu sama lain dalam proses politik dan kebijakan. Pada proses ini dibatasi oleh parameter yang relative stabil serta kejadian di luar subsistemDari ketiga model di atas, untuk melihat bagaimana implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) tampaknya tidak bisa semata-mata menggunakan model rasional (top down) atau model partisipasi (bottom up). Sebab, kebijakan MBS ini merupakan kebijakan yang memberikan kewenangan yang lebih luas pada masyarakat untuk mengembangkan pendidikan yang berada di lingkungannya. Meskipun masyarakat diberi kewenangan ini, tetapi dalam praktiknya pemerintah tidak lepas kontrol sama sekali terhadap proses pengembangan pendidikan yang dijalankan oleh masyarakat dan sekolah.

C.    KEBIJAKAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Kebijakan pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup panjang. Sebelum berlakunya reformasi politik 1998, kondisi manajemen pendidikan di Indonesia mempunyai ciri yang masih sangat sentralistik dan birokratik, sebagaimana kecenderungan umum dalam sistem pembangunan sektor lainnya (H.A.R. Tilaar 2003, 5). Kebijakan yang sentralistik ini berubah secara perlahan melalui kebijakan desentralisasi politik (otonomi daerah) yang berlaku sejak ditetapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Sejalan dengan semangat era desentralisasi di Indonesia, pengelolaan pendidikan mulai diserahkan pada pemerintah daerah. Berbagai kebijakan pun dikeluarkan untuk mendukungnya. Baik yang bersifat admnistratif, seperti perubahan status institusi pengurus pendidikan, atau status pegawai pendidikan, hingga yang bersifat materi, misalnya kurikulum. Salah satu kebijakan pendidikan yang muncul mewarnai alam reformasi adalah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS merupakan hasil evaluasi pemerintah dari masa lalu yang serba sentralistis dan tidak memberdayakan masyarakat. Karena model seperti itu pada akhirnya membuat mutu pendidikan Indonesia rendah. Kebijakan MBS merupakan salah satu bentuk pembaharuan dalam pendidikan. Pembaharuan yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan karakter serta sifat masyarakat.
Tujuan utama yang diemban dalam program ini adalah peningkatan mutu pendidikan. MBS ditetapkan sebagai kebijakan nasional oleh Depdiknas sejak tahun 2000. Dengan keputusan ini, sekolah di semua level, SD hingga SMA mesti menjadikan konsep tersebut sebagai acuan. Akan tetapi, agar bisa dilaksanakan, langkah awalnya adalah memahami seluk beluk MBS. Menurut Nurkolis (2003), dari asal usul peristilahan, MBS adalah terjemahan langsung dari school based management (SBM). Istilah ini mulamula muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai alternatif untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah. Reformasi diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan tahun gagal menunjukan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah. Sama seperti Nurkolis, menurut Nanang Fatah (2003:8) manajemen berbasis sekolah sebagai terjemahan school based management adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholder). MBS dapat pula diartikan sebagai wujud dari reformasi pendidikan yang menginginkan adanya perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang baik. Diharapkan dengan adanya pengalihan wewenang dalam pengambilan keputusan dari birokrasi ke sekolah, sekolah bisa lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan Tuntutan lingkungan dan masyarakat.
D.    KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT NASIONAL
Kurikulum KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan,dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Prisip-prinsip pengembangan KTSP adalah: (a) Berpusat pada potensi perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungan; (b) Beragam dan terpadu; (c) Tanggapterhadap perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi dan seni budaya; (d) Relevandengan kebutuhan kehidupan; (e) Menyeluruh dan berkesinambungan; (f) Belajar sepanjang hayat; (g) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Sejarah mencatat sejak tahun 1968 telah terjadi 6 kali perubahan kurikulum yakni kurikulum1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994,kurikulum 2004 dan kurikulum 2006 kurikulum KTSP. perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dilakukan oleh pemerintah, dikarenakan adanya perubahan teori pembelajaranyang baru, pendekatan pembelajaran yang baru dan adanya perubahan paradigm baru dalam manajemen pendidikan dari sistem sentralistik menuju desentralistik.
Dalam dimensi lembaga, kurikulum berfungsi sebagai rencana tertulis yang dipergunakan sebagai pedoman lembaga dalam penyelenggaraan pendidikan. Dimensi kelas, kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Dimensi masyarakat, kurikulum berfungsi untuk memberikan kritik yang konstruktif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 20 tahun (2003: 6), Bab II, Pasal 3 mengamanatkan bahwa : “ … Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yangdemokratis serta bertanggung jawab”.[3]
Pada tingkat nasional secara hukum, kenyataan,dan operasional kebijakan pengembangan kurikulum tingkat sekolah berada di bawah wewenang Balitbangdikbud, terutama pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana Akademik(Pusbangkurandik). Di lembaga ini, pemikiran dasar dan proses pengembangan kurikulum dirancang dan dilaksanakan sebagai upaya merealisasikan tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan dalam GBHN, UUSPN Tahun 1989,dan PP 28,29 tahun 1990. Proses pengembangan kurikulum sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab dan kendali pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana Akademik. Walau  harus diakui bahwa tanggung jawab serta kendali itu tidak mudah karena kurikullum sebagai suatu kebijakan politik-edukatif tidak lepas dari berbagai pengaruh kekuatan politis yang ada.[4]


[1] Mundiri. Implementasi Management… (Online). www.implementasi,peran.birokrasi dalam.kebijakan.pendidikan.com , diakses tanggal 26 September 2011
[2] Ibid. hal:36
[3] Wachidi. Kedudukan dan peran guru Dalam mengembangkan kurikulum tingkat Satuan pendidikan (KTSP) untuk meningkatkan Mutu pendidikan (Online). www.kebijakan.pendidikan.com , diakses tanggal 26 September 2011. Hal :13
[4] Restu Gunawan. 1998. Simposium Pengajaran Sejarah :Kumpulan Makalah Diskusi.  Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal: 65



[1] Wachidi. Kedudukan dan peran guru Dalam mengembangkan kurikulum tingkat Satuan pendidikan (KTSP) untuk meningkatkan Mutu pendidikan (Online). www.kebijakan.pendidikan.com , diakses tanggal 26 September 2011. Hal :5